Lihat ke Halaman Asli

Golput Itu Masih Tetap (Tidak) Seksi!

Diperbarui: 12 Desember 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap Menjelang Pemilihan Umum baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan bahkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah biasanya fenomena Golput atau Golongan Putih kembali menyeruak. Entah simbol sebuah keprihatinan, tindakan perlawanan, lambang frustasi yang mendalam atau simbol ekspresi ketidakberdayaan secara politik.

Walaupun secara faktual tidak menyebabkan tidak sahnya sebuah hasil pemilihan baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan bahkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun realitas penurunan angka partisipasi para pemilik hak suara dalam suatu proses Pemilihan Umum patut mendapat kajian dan perhatian dari semua elemen pengusung demokrasi peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri.

Kalau dilatarbelakangi oleh sebuah keprihatinan, tindakan perlawanan atau simbol ekspresi politik yang tidak terkooptasi oleh sistem yang ada fenomena Golongan Putih selintas mirip dengan tren pergerakan yang berhaluan ‘kiri”. Ketika masih bergelut di sebuah ruang kecil dunia pergerakan mahasiswa pra dan pasca reformasi dulu seolah ada tren di kalangan para aktifis untuk belajar dan terlibat dalam ideologi-ideologi dan organisasi yang berbau “kiri”. Buku-buku dan gambar tokoh-tokoh yang berideologi kiri banyak dicari. Kondisi tersebut seolah ikut melontarkan ungkapan bahwa menjadi “kiri” itu seksi. 

Organisasi dan ideologi yang cenderung “tengah” dan bahkan “kanan” terasa kurang menggigit dan cenderung pro status quo. Ideologi “kiri” seolah menjadi sarana ekspresi yang tepat bagi gejolak jiwa muda yang anti kemapanan, radikal. Kondisi itu membuat organisasi dan ideologi kiri seolah naik daun.

Para aktifisnya akan terlihat kritis, beda dan heroik. Pada akhirnya pergerakan ini hanya seksi pada tingkatan konsep dan idealitas sementara pada tataran realitas kurang mendapat respon yang memadai untuk menjadi suatu kekuatan politik yang patut diperhitungkan. Malah pada akhirnya para aktifis “kiri” banyak yang bergerak ke tengah, entah karena hal-hal yang pragmatis atau sebuah kesadaran bahwa sebuah keterlibatan dalam sistem dengan dukungan politik yang nyata akan lebih memberikan makna pada perjalanan perubahan.

Sikap memilih untuk tidak memilih ini dipopulerkan oleh Arief Budiman  pada Pemilu 1971 sebagai sikap perlawanan terhadap salah satu organisasi sosial politik saat itu yang dia rasa telah mencederai komitmen dan cita-cita awal rejim Orde Baru untuk membentuk sebuah pemerintahan yang demokratis. Sikap ini menjadi bermakna dan heroik karena tergambar vis a vis perlawanan pada sebuah rejim yang saat itu sangat berkuasa.  Keterlibatan dalam instrumen organisasi politik saat itu tidak memberikan harapan yang besar.  Tingkat kooptasi dan konspirasi dari rejim berkuasa sangat kental dan menekan.

Dulu ide dan kampanye golongan putih ditakuti, aktifis yang mengampanyekan golongan putih dianggap musuh negara dan pantas kenai pasal karet dalam Undang-Undang Subversif. Sekarang golongan putih dianggap bagian yang normal dari sebuah dinamika demokrasi. Fenomena semakin menurunya angka partisipasi dalam sebuah pemilihan umum sudah menjadi hal biasa dan semakin menggejala.

Apalagi kalo merujuk data penurunan tingkat partisipasi pemilik hak pilih pada beberapa Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan bahkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terakhir.  Kondisi ini mengisyaratkan secara jelas bahwa telah timbulnya sikap apatis di kalangan para pemegang hak suara. Untuk konteks Indonesia maka ini bisa dikatakan sebagai sebuah antiklimaks dari demokratisasi yang dibangun sejak lama, atau minimal sejak runtuhnya rejim orde baru.

Ketika kita sepakat bahwa demokrasi sebagai rule of the game dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara kita maka penurunan angka partisipasi politik merupakan kondisi yang tidak bisa dianggap enteng. Penurunan angka partisipasi politik yang semakin ektensif dan meningkat akan mendesakralisasi demokrasi baik itu secara sistem, organ maupun hasil dari proses demokrasi itu sendiri.

Demokrasi akan dianggap sebagai sebuah sistem yang tidak mampu menunjang pencapaian tujuan dan cita-cita berbangsa dan bernegara. Walaupun sejak awal kita menyadari bahwa demokrasi adalah cara bukan tujuan itu sendiri.  Adagium bahwa demokrasi adalah cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat akan membusuk dengan sendirinya.

Partai politik sebagai organ demokrasi dan eksistensinya merupakan indikator suatu negara dikatakan demokratis akan mendapat akan mendapat porsi “kambing hitam” paling besar terkait apatisme publik dalam sebuah perhelatan demokrasi.  Kalau dikaitkan dengan dinamika politik akhir-akhir ini maka sekarang adalah saat dimana partai politik menghadapi gelombang ujian degradasi tingkat kepercayaan yang hampir-hampir menghempaskan kredibilitas dan prestise partai politik ke titik nadir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline