Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Kopi itu pahit, tapi lebih pahit jika tidak ngopi.

Di Balik Hak Kebebasan Berpendapat dalam Demorasi

Diperbarui: 24 Maret 2024   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengapa demokrasi menggadang-gadang hak kebebasan berpendapat? Karena dari sanalah kita dapat memperoleh semua informasi sebagai bahan baku pengambilan keputusan sikap yang benar.

Kita sudah pernah berada pada zona rezim yang enggan mendengar selain yang ingin didengar. Lahirlah pembatasan informasi. Yang hadir dan diperdengarkan kepada pemimpin hanya yang positif, capaian baik dan kesejahteraan di mana-mana. 

Adanya keresahan, kelaparan, ketimpangan, semua disimpan, ditutupi dan akhirnya dianggap tidak ada. Ketika pemimpin mengambil keputusan, tentu ada yang berbeda pendapat. Tetapi demi ketertiban, perbedaan ditiadakan. 

Suara sumbang ditaruh di belakang meja atau bahkan ditaruh ruang sebelah agar tidak terdengar. Jadilah pemimpin merasa semua baik-baik saja. Padahal semua itu semu belaka. Bukan demikian demokrasi. Demokrasi haruslah memberikan ruang yang luas untuk kenyataan agar dapat ditimbang dengan benar.

Lahirlah reformasi. Ia lahir mendobrak meja penyimpan rahasia, dan tembok penghalang informasi yang berseberangan. Semua yang dinyatakan baik-baik saja, tidak demikian senyatanya. Krisis terjadi tanpa bisa dilawan. Rezim dikritik habis akhirnya tumbang. 

Reformasi hadir sebagai angin segar kehidupan. Setiap orang bebas bicara. Setiap orang boleh bersikap. Tidak ada lagi Batasan untuk mengarahkan pendapat. Uforia kebebasan. Disangkanya dengan adanya kebebasan maka semuanya selesai. Ternyata tidak.

Yang butuh kebebasan ternyata tidak banyak. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih bungkam. Apakah karena sungkan, tidak yakin adanya jaminan kebebasan, atau memang tidak siap mental untuk sekedar menyampaikan dan/atau mendengar kebenaran. 

Terlalu lama hidup dalam penjajahan dilanjutkan pengalaman buruk otoritaran, menjadikan jiwa-jiwa masyarakat kerdil, pasif dan apatis. Semua sudah ada yang ngurus. Kita manut saja.

Situasi ini ditangkap sebagai kesempatan emas. Label sebagai negara demokrasi baru, memungkinkan semua pihak untuk berasumsi pada adanya keterbukaan, objektivitas, mekanisme kontrol dan sebagainya. Indikatornya tunggal, kebebasan. Inilah uniknya. Karena memandang adanya kebebasan adalah ukuran tunggal, menjadikan diskursus justru mati. 

Begitu ada orang berpendapat, kita tidak lagi kritis, biarkan saja, toh setiap orang bebas bicara. Bahkan, uforia masuk dalam ranah hukum, pasal penghinaan dipandang tidak relevan karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi. 

Tiba-tiba kita melihat orang yang berani menghina adalah orang yang kritis dan berani. Orang yang hendak meluruskan konsep kritik dan penghinaan dipandang sebagai bagian rezim dan anti kritik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline