Imunitas negara dirancang untuk menjaga hubungan diplomatik tetap harmonis. Ketika mendengar kata "imunitas negara," kebanyakan orang mungkin membayangkannya sebagai prinsip mulia yang menjaga keharmonisan hubungan antarnegara. Namun, di balik konsep ini, tersembunyi paradoks yang sering kali menyulut kontroversi. Di satu sisi, imunitas diplomatik memberikan perlindungan kepada pejabat negara yang menjalankan tugas di luar negeri, sehingga memungkinkan mereka bekerja tanpa rasa takut akan tekanan hukum. Di sisi lain, prinsip ini kerap kali digunakan sebagai tameng untuk melindungi tindakan melanggar hukum.
Kasus-kasus penyalahgunaan imunitas kerap mencuri perhatian publik. Mulai dari penyelundupan barang ilegal hingga tindakan kriminal seperti pembunuhan atau kekerasan, banyak diplomat yang lolos dari jeratan hukum hanya karena status istimewa mereka. Hal ini memicu pertanyaan penting: apakah imunitas negara masih relevan di era modern, atau sudah saatnya prinsip ini direformasi agar tidak lagi menjadi celah hukum?
Kenyataan pahit ini menciptakan dilema. Di satu sisi, dunia internasional bergantung pada imunitas diplomatik untuk menjaga stabilitas hubungan antarnegara. Namun, di sisi lain, penyalahgunaannya meninggalkan luka mendalam pada para korban yang tidak pernah mendapatkan keadilan. Inilah yang membuat imunitas negara menjadi perdebatan panjang antara mereka yang mendukung perlindungan diplomasi dan mereka yang memperjuangkan tegaknya hukum.
Apa Itu Imunitas Negara?
Imunitas negara adalah doktrin hukum yang menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat dituntut di pengadilan asing untuk melakukan kesalahan hukum atau dituntut perdata atau pidana. Doktrin ini lebih kuat dibandingkan imunitas kedaulatan atau imunitas mahkota yang berlaku di pengadilan sendiri. Hak Imunitas dikenal 2 (dua) macam, yaitu:
- Hak imunitas mutlak (absolut), yaitu hak imunitas yang tetap berlaku secara mutlak dalam arti tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Sedangkan :
- Hak imunitas bersifat relatif, dalam arti hak imunitas ini masih dapat dikesampingkan.
Hak imunitas adalah status hukum yang membuat seseorang atau entitas tidak dapat ditindak secara hukum. Hak imunitas ini dapat berupa kekebalan dari dakwaan pidana atau dari tanggung jawab perdata, atau keduanya. Contohnya adalah kekebalan diplomatik dan kekebalan saksi. Hak imunitas untuk pejabat negara bermula dari keistimewaan yang diberikan berdasarkan Konvensi Wina tentang hukum diplomatik pada tahun 1961. Isi Konvensi Wina 1961 yakni mengatur prinsip-prinsip dasar perlindungan diplomatik, kekebalan diplomatik, tata cara pengangkatan dan penarikan diplomat, serta fasilitas diplomatik. Hal ini dirancang untuk memastikan hubungan antarnegara tetap stabil.
Imunitas Negara Tak Selalu Mutlak/Kebal Hukum
Imunitas negara memiliki batasan, meskipun pada dasarnya prinsip imunitas negara memberikan perlindungan kepada negara berdaulat dari yurisdiksi hukum negara lain. Batasan-batasan tersebut berkembang seiring waktu untuk menyesuaikan dengan kebutuhan hukum internasional modern. Berikut adalah beberapa batasan utama:
- Pembedaan antara Imunitas Absolut dan Imunitas Relatif.
* Imunitas Absolut: Dulu, negara memiliki imunitas penuh dari yurisdiksi hukum asing, baik dalam tindakan pemerintah (sovereign acts) maupun tindakan komersial.
* Imunitas Relatif: Saat ini, banyak negara mengadopsi pendekatan imunitas terbatas. Imunitas hanya berlaku untuk tindakan pemerintah yang bersifat publik atau berdaulat (sovereign acts/jure imperii), tetapi tidak untuk tindakan komersial (jure gestionis).
- Tindakan Komersial (Jure Gestionis)
Jika suatu negara terlibat dalam aktivitas komersial atau bisnis seperti perusahaan swasta, negara tersebut tidak dapat mengklaim imunitas. Contoh: Jika sebuah negara menyewa properti atau terlibat dalam perdagangan internasional, sengketa yang timbul dapat diselesaikan di pengadilan negara lain.
- Pelanggaran HAM Berat
Dalam beberapa kasus, pengadilan internasional dan nasional telah mengabaikan klaim imunitas negara jika negara tersebut diduga melakukan pelanggaran HAM berat seperti genosida, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Contoh kasus: Kasus Ferrini v. Germany (2004): Pengadilan Italia menyatakan bahwa Jerman tidak dapat mengklaim imunitas atas kejahatan perang selama Perang Dunia II.
- Kontrak Internasional
Jika negara secara eksplisit melepaskan imunitasnya dalam kontrak internasional (waiver of immunity), maka negara tersebut tidak dapat mengklaim perlindungan imunitas dalam sengketa yang timbul dari kontrak tersebut.
- Klaim atas Aset di Luar Negeri
Aset milik negara yang digunakan untuk tujuan komersial di luar negeri dapat disita dalam kasus sengketa hukum, meskipun aset yang digunakan untuk fungsi berdaulat biasanya tetap dilindungi.
- Hukum Domestik
Beberapa negara memiliki undang-undang yang membatasi imunitas negara asing. Contohnya:
* United States Foreign Sovereign Immunities Act (FSIA) 1976: Membatasi imunitas negara asing dalam kasus yang melibatkan aktivitas komersial atau pelanggaran hukum tertentu di AS.
* UK State Immunity Act 1978: Mengatur batasan serupa untuk klaim terhadap negara asing di Inggris.
- Penyelesaian Sengketa Internasional
Di forum seperti Mahkamah Internasional (ICJ) atau arbitrase internasional, negara bisa diadili jika telah menyetujui yurisdiksi pengadilan atau forum arbitrase tersebut.
Imunitas negara bukanlah perlindungan yang mutlak. Perkembangan hukum internasional telah memberikan keseimbangan antara prinsip kedaulatan negara dan kebutuhan untuk menegakkan keadilan, terutama dalam kasus yang melibatkan tindakan komersial atau pelanggaran HAM berat. Namun, hak istimewa ini masih saja sering kali disalahgunakan di luar konteks tugas resmi. Ini memunculkan pertanyaan: apakah imunitas ini masih sesuai dengan kebutuhan zaman, atau justru memberikan keleluasaan untuk melanggar hukum?