[caption id="attachment_25016" align="alignleft" width="157" caption="Illustrasi: enda.goblogmedia.com"][/caption]
Sekali lagi, kita ingin memetik hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Itu kata orang bijak, dan semoga Anda yang membaca tulisan ini termasuk di dalamnya, yang tidak terlampau sedih apalagi stress saat ujian dan cobaan datang menimpa. Ataukah kecewa, dongkol dan marah bila seseorang membohongi Anda di alam nyata atau di dunia maya. Setidaknya kita menanamkan dalam diri kita untuk tidak sekali-kali berdusta dan berbohong, karena sifat itu sungguh tak patut kita miliki sebagaimana setiap orang tak sudi dibohongi.
Saya yakin bahwa setiap agama yang ada di muka bumi tidak membenarkan sifat dusta dan kebohongan melekat dalam diri para pengikutnya. Bukan hanya karena sifat ini dapat menciptakan mudharat (keburukan) dengan efek domino; sebuah kebohongan melahirkan kebohongan yang lain, tapi sifat ini juga sungguh tidak sejalan dengan fitrah kita sebagai manusia. Hal ini bisa kita rasakan ketika coba untuk berkata dusta, selalu saja ada bisikan halus dalam hati untuk tidak melakukannya.
Hati kecil bahkan kerap berbisik bahwa kebohongan yang dilakukan adalah dosa hingga kerap membuat kita tidak tenang dan gelisah. Karena itu, terkadang tidak sulit mengetahui seseorang jujur atau dusta melalui getar suaranya, gerak mata atau degup jantungnya. Terkecuali bagi orang-orang yang sudah kehilangan fitrah tersebut dalam dirinya, dimana dusta dan kebohongan adalah santapannya sehari-hari dan melekat erat pada perilakunya. Tapi kalau menggunakan alat deteksi kebohongan, biasanya dapat diketahui jujur atau dustakah ia.
Dusta lawannya jujur. Kedua sifat ini bisa menyatu dalam diri seseorang. Sangat tergantung pada setiap individu apakah sifat jujur atau dusta yang ingin ia miliki dan mendominasi sifat-sifatnya. Yang satu selaras dengan fitrah manusia, dan yang lainnya bertentangan. Sebagaimana sifat jujur yang memiliki variabel penguat pada diri kita, demikian pula sifat dusta. Faktor pendidikan, penanaman nilai-nilai agama, lingkungan, pengetahuan dan lainnya adalah sebab-sebab yang membuat seseorang menjadi jujur atau jadi pendusta.
Dari sudut pandang agama yang saya anut, berkata dusta adalah tanda kemunafikan. "Idza haddatsa kadzdzaba". Demikian sabda Rasulullah saw., "Bila berkata ia dusta," Dan bila dusta dan kebohongan terus menerus ia lakukan, maka perlahan tapi pasti orang tersebut akan dicap sebagai pendusta hingga pada saatnya tak seorang pun percaya pada apa yang ia ucapkan.
Hal ini juga disebutkan Rasulullah saw. dalam sabdanya, "Sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa ke surga, seseorang itu akan selalu berlaku jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu membawa ke neraka, seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sangat banyak contoh bagaimana kejujuran itu membuat seseorang mendapatkan kebaikan yang tiada habisnya. Ketika Muhammad saw. menjalankan bisnis Khadijah sebagai pedagang, cara yang ia lakukan dengan menyebutkan cacat barang yang ia jual membuat pedagang lain mencibir dan merasa yakin, bahwa Muhammad akan merugi dalam usahanya. Namun ternyata bisnis ala Muhammad menarik hati para pembeli, dan membuatnya meraih untung berlipat ganda. Bukan itu saja, Khadijah yang kaya raya dan cantik jelita itu tertawan hatinya oleh Muhammad saw. Dewasa ini, menemukan pedagang yang jujur bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sulit bukan main. Dan profesi apapun sesungguhnya kejujuran adalah modal paling penting yang harus dimiliki setiap orang.
Jadi, tak seorang pun yang suka dengan sosok pendusta, tidak di alam nyata demikian pula di dunia maya. Blog Kompasiana yang sudah kita anggap sebagai rumah sehat tempat dimana kita saling berbagi, bertukar pikiran, memberi dan menerima, akan lebih sehat, terhormat dan bermartabat bila penghuni yang ada di dalamnya tidak menyertakan dalam dirinya secuil pun keinginan untuk membagi dusta dan kebohongan. Betapa perilaku ini melahirkan keburukan yang lain; sosok yang begitu nyata akhirnya dicurigai fiktif belaka. Bahkan di antara kita mulai muncul saling curiga; siapa yang nyata dan tidak nyata menjadi serba mungkin. Kecuali bagi mereka yang sudah pernah saling kenal, tatap wajah dan bersua di alam nyata, maka tak ada keraguan di antara mereka.
Manfaat lain yang kita ingin peroleh saat bergabung di Rumah Sehat Keluarga Besar Kompasiana ini adalah terbangunnya jalinan silaturrahim dan persaudaraan erat yang tidak hanya sebagai pintu rizki tapi juga memanjangkan usia sebagaimana sabda Rasulullah saw. Karena itu, jangan lagi ada dusta di antara kita. Lebih baik kita berlaku jujur; jujur pada diri sendiri dan kepada orang lain, dan jangan khawatir bahwa kebaikan pasti menyertai. Dengan cara itu pula kita bisa dihargai dan terhormat tidak hanya di hadapan manusia, tapi juga di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui.
Penggalan lagu Radja yang saya kutipkan disini mungkin patut sebagai pengingat:
Jujurlah padaku bila kau tak lagi cinta Tinggalkankah aku bila tak mungkin bersama jauhi diriku lupakanlah aku oh..oh..oh
Jujur lah padaku Bila kau tak lagi suka Tinggalkanlah aku bila tak mungkin bersama Jauhi diriku lupakanlah aku selamanya
Salam Kompasiana
Utan Kayu, 13.11.2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H