Konflik dua Negara serumpun mulai terjadi sejak era pemerintahan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Abdul Rahman pada tahun 1962-1966. Bermula ketika Malaysia ingin menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu. Tentu saja keinginan itu ditentang habis oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka" Britania. Dari situlah konfrontasi bermula hingga menciptakan demonstrasi besar-besaran anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Bahkan dalam satu kesempatan para demonstran tersebut menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman dan memaksanya untuk menginjak Lambang Negara tersebut.
Apa yang kemudian dilakukan oleh Tunku Abdul Rahman meledakkan amarah Soekarno yang mengutuk keras tindakan itu yang akhirnya mengelorakan "Ganyang Malaysia" di seantero negeri. Peperangan akhirnya pecah antara Indonesia dengan Malaysia yang dibantu Australia, New Zealand, dan Inggris. Konfrontasi yang menewaskan sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) akhirnya diselesaikan melalui penandatanganan perjanjian damai pada 11 Agustus 1966, setelah diadakannya Konfrensi Bangkok pada 28 Mei 1966.
Empat puluh tiga (43) tahun setelah masa konfrontasi berakhir damai di meja perundingan, kini bara api konflik tersebut tampak membara kembali, khususnya beberapa tahun terakhir ini. Berawal pada 17 Desember 2002, ketika Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) memutuskan bahwa Malaysia mempunyai hak dan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan di Laut Sulawesi yang berada di perbatasan antara Kalimantan Timur dengan Sabah-Malaysia. Walau Mahkamah Internasional memiliki alasan kuat memenangkan Malaysia dalam kasus ini, namun kekalahan tersebut tetap saja meninggalkan luka di hati rakyat Indonesia.
Munculnya berbagai peristiwa memilukan yang dialami banyak TKI di Malaysia, kian maraknya klaim Negara tersebut terhadap kekayaan Intelektual, budaya dan seni Indonesia, adanya upaya aneksasi terhadap pulau ambalat dan pelecahan terhadap lagu kebangsaan Indonesia tampaknya semakin memerahkan bara api tersebut setelah sekian lama terpendam debu. Sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan Indonesia-Malaysia saat ini kembali memasuki memasuki titik kritis. Dan kisruh tersebut juga merambah Blog Kompasiana, menjadi tempat melampiaskan uneg-uneg, amarah dan antipati dalam bentuk hujatan, makian, dan berbagai kalimat yang bisa membuat kuping semakin memerah.
Bila ditilik dari rentetan konflik tiada henti Indonesia-Malaysia yang laksana warisan dua Negara serumpun, sepertinya akan terus terjadi bila akar konflik itu sendiri tidak ditebas habis. Bahkan akan jadi warisan turun temurun bila kedua Negara tidak memiliki formula tepat dalam memetakan dan mengatasi berbagai kasus yang menjadi pemicu konflik. Adapun reaksi dan respon rakyat kedua negara, apapun bentuknya, tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Bahkan hanya menambah runyam dan menghabiskan energi walau atas nama nasionalisme sekalipun.
AH Mahally, Peneliti pada Centre for International Relations Studies, Universitas Indonesia, memetakan 3 masalah besar yang selama ini menjadi sumber konflik dan hambatan serius hubungan kedua negara:
Pertama, persoalan Tenaga Kerja Indonesia ( TKI).
Siapapun tahu bahwa upah kerja di Malaysia lebih tinggi sehingga sangat banyak warga negara Indonesia mengadu nasib sebagai TKI. Jumlah TKI di Malaysia diperkirakan mencapai 3 juta orang. Yang resmi sekitar 1,5 juta. Hebohnya, jumlah ini ternyata hampir 10 persen jumlah penduduk Malaysia. Ditambah Keluhan yang sering terdengar di kalangan rakyat Malaysia, bahwa adalah TKI pria sering terlibat dalam aksi-aksi kriminalitas di negeri mereka.
Pada akar masalah ini, pemerintah SBY wajib melobi pemerintah dan departemen terkait di Malaysia untuk memberikan proteksi tambahan kepada para TKI. Langkah ini tetap harus dilakukan karena pemerintah RI sendiri belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai. Jakarta perlu merenungi betapa repotnya Malaysia mengurus ratusan ribu TKI ilegal. Kendati pemerintah Malaysia sendiri tentu perlu berterima kasih karena berbagai gedung tinggi dan megah merupakan hasil karya warga Indonesia. Artinya bahwa, kedua negara serumpun ini baik Malaysia maupun Indonesia sesungguhnya masih saling membutuhkan.
Kedua, territorial overlapping claims (tumpang-tindih klaim perbatasan).
Persoalan inilah yang paling memicu emosi kedua bangsa. Setelah kasus Sipadan-Ligitan, lalu menyusul Ambalat dan teranyar adalah klaim atas pulau Jamur akan menjadi bara api paling potensial membakar kedua negara. Bahkan dalam kasus Ambalat (Februari 2005), pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu nyaris menyeret konflik bersenjata kedua negara, karena Kuala Lumpur dianggap hendak mencaplok Ambalat, pulau seluas Propinsi Jawa Barat yang ternyata memiliki kandungan minyak luar biasa.
Sejumlah upaya mesti dilakukan pemerintah antara lain adalah, mulai mendata kembali sekitar 9.634 pulau yang belum memiliki nama dari 17.504 pulau yang ada, sekaligus melakukan pengukuran dan pemetaan batas wilayah perbatasan, khususnya yang kerap menjadi titik persinggungan antara kedaulatan nasional dan negara tetangga, sekaligus menjaga batas keamanan wilayah dan menciptakan sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau tersebut melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru dan sebagainya.
Ketiga, illegal logging atau pembalakan liar.
Drama penggundulan hutan di Indonesia sudah lama terjadi. Namun, kapan para sutradara dan pemainnya akan dihukum seberat-beratnya, masih menunggu 'keberanian' para penegak hukum: Polri, Jaksa, Hakim.
Ahli ekonomi kehutanan dari Department for International Development (DFID), Inggris, David W Brown, mencatat kerugian Indonesia sebesar 5,7 miliar dolar AS (Rp 54,75 triliun) per tahun akibat illegal logging. Yang gawat, sudah 70 persen hutan perawan di Tanah Air dikabarkan telah amblas: dijarah, ditebang, dibakar, digunduli atau dialihfungsikan.
Ke 3 hal inilah yang dianggap masalah mendasar yang kerap memicu munculnya konflik baru. Adapun yang terakhir adalah:
Klaim atas kekayaan seni dan Budaya.
Pengakuan atas kekayaan seni dan budaya Indonesia sudah sering dilakukan Malaysia, bahkan mungkin sudah puluhan kali. Tidak ada rasa bersalah apalagi berdosa sedikit pun saat mengakui, bahkan mempatenkan kekayaan seni dan budaya milik negeri ini. Berbagai alasan klise sudah dikemukakan untuk mendapatkan justifikasi dari kejahatan plagiat yang dilakukan.
Agar masalah ini tidak terulang kembali dimasa yang akan datang, maka pemerintah seharusnya lebih protektif terhadap warisan budaya milik negeri ini, baik dengan cara mendata atau dengan mempatenkannya, lalu diberikan payung hukum tentang warisan budaya sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI).
Setiap kita mafhum, bahwa pemerintah RI hingga saat ini belum mampu mengatasi berbagai persoalan tersebut dengan tepat, apalagi membungkam pelakunya agar jera dan tidak mengulanginya kembali. Tapi sejumlah formula di atas mungkin bisa dilakukan – semoga pemerintah memiliki formula terbaik- agar konflik ini tidak menjadi warisan turun temurun bagi setiap generasi baru bangsa ini! Merdeka!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H