Ada perasaan tak nyaman saat menginjak bandara Kuala Lumpur Malaysia bersama tujuh orang teman untuk mengikuti workshop manajemen selama beberapa hari di Petaling, Selangor, pada 29/09/2007. Perasaan tak nyaman itu disebabkan kasus yang saat itu heboh di tanah air; pengeroyokan seorang pelatih karateka Indonesia oleh polisi Diraja Malaysia. Setelah melalui pintu migrasi, dengan nada bercanda saya berkata kepada kawan-kawan agar ketika ditanya oleh petugas atau warga setempat, "Dalam rangka apa Melaysia." katakan saja, "Sedang nyari polisi pelaku pengeroyokan warga Indonesia."
Berita yang saat itu sangat heboh di tanah air karena menjadi headline seluruh media, bahkan Kedubes Malaysia di Jakarta didemo ribuan massa yang berasal dari berbagai elemen masyarakat, ternyata tidak menjadi berita penting bagi media Malaysia. Sehingga sangat wajar bila hanya segelintir orang yang mengetahui kasus tersebut.
Juga tidak aneh bila kasus-kasus lain terkait dengan penyiksaan TKI, penistaan, pemalakan, pemerkosaan dan berbagai kasus lainnya yang dilakukan para majikan, aparat atau RELA Malaysia kerap terulang, karena kasus-kasus itu tidak diekspos sehingga dianggap tidak pernah ada, apalagi menciptakan efek jera bagi warga yang lain. Tentu situasinya akan berbeda bila kasus sedemikian dipublikasi media Malaysia lalu ditindaklanjuti oleh aparat berwenang melalui hukuman setimpal agar menjadi 'pelajaran' bagi warga yang lain.
Merajut Ikatan Sebagai Bangsa Serumpun
Sebagai 'Negara Serumpun', apalagi mayoritas penduduk kedua negara ini adalah Muslim, maka sudah selayaknya bila hubungan kedua negara lebih erat dan kuat. Karena hubungan itu tidak hanya dibangun melalui jalur politik, sosial, budaya dan hubungan bilateral yang saling menguntungkan kedua belah pihak, tapi juga dirajut oleh ikatan "Bangsa Serumpun". Adanya ikatan ini seharusnya membuat kedua negara lebih saling menghormati dan menghargai; sesuatu yang juga patut disosialisasi kepada warga Malaysia, walau tetap harus menggunakan proses hukum bagi para pelaku kejahatan yang disinyalir banyak dilakukan oleh warga Indonesia, dan tentu saja hukuman setimpal terhadap para majikan yang melakukan tindak kriminal dan penganiayaan terhadap warga Indonesia, khususnya yang berstatus sebagai TKI.
Menurut penulis, ini adalah salah satu pendekatan sederhana sebagai Negara Serumpun yang dapat dilakukan untuk menciptakan 'Rasa Sayange' yang bukan hanya berlaku bagi sesama warga Malaysia, tapi juga dirasakan oleh Warga Indonesia yang tinggal di negara tersebut, walau mereka berstatus sebagai pembantu, kuli kasar dan sebagainya. Kita tidak perlu mengungkit-ungkit bahwa keberhasilan Malaysia membangun gedung-gedung tinggi dan mewah itu berkat keringat warga Indonesia yang bekerja disana. Karena para pekerja itu juga menerima upah dan gaji yang sedikit banyak dapat mengangkat ekonomi keluarga mereka di kampung.
Yang jauh lebih penting kita tumbuhkan sebagai negara tetangga; Indonesia-Malaysia, adalah aplikasi nilai-nilai 'Rasa Sayange' sebagai negara serumpun. Itu jauh lebih urgen dari sekedar mempermasalahkan milik dan hak siapa sesungguhnya lagu 'Rasa Sayange' itu. Karena penyelesaian dari masalah ini akan menjadi lebih mudah bila saja nilai-nilai lagu tersebut melekat lebih dahulu dalam diri kedua bangsa, khususnya para pemimpin kedua negara. Bila saja demikian, Malaysia tentu malu dan takkan berani mengklaim apalagi mempatenkan lagu 'Rasa Sayange' yang sejak kecil saya hapal dan nyanyikan dalam kegiatan Pramuka, sebagai lagu milik mereka.
Mungkin semangat rasa sayang dan cinta kasih yang tumbuh kuat di antara sesama warga Malaysia yang berasal dari berbagai etnis itulah yang membuat mereka merasa lebih berhak memiliki lagu ini daripada kita, Indonesia, yang dengan keberagaman etnis, suku, agama dan budayanya acap tak mampu hidup dengan rasa sayang dan cinta damai serta menjadikannya dinamika yang berfungsi sebagai perekat.
Jangan Kehilangan Rasa
Demikian pula Indonesia, yang ketika mendengar lagu 'Rasa Sayange' diklaim sebagai milik Malaysia, maka penyelesaiannya pun tidak harus disertai caci maki dan hati panas. Ada cara yang lebih soft. Apalagi ini terkait dengan budaya dan seni, maka selayaknya diselesaikan dengan cara yang lebih lembut. Yang disayangkan adalah tidak tumbuhnya 'Sayange' pada diri kedua bangsa sehingga penerimaan 'Rasa' pun selalu negatif.
Disinilah sesungguhnya akar masalah itu. Saat mendengar kata 'Indon' disebut, maka 'Rasa' warga Indonesia pun berkonotasi buruk dan negatif; pelecehan dan penghinaan. Walau pun yang menyebutnya –mungkin- tidak bermaksud demikian. Bila kalimat itu bermaksud demikian, maka sudah seharusnya warga dan media Malaysia tidak lagi menggunakannya. Apa susahnya menyempurnakan kata itu dengan tambahan beberapa huruf saja menjadi Indonesia. Ataukah kita demikian pelit walau dengan sedekah dengan beberapa huruf?
Peran Media
Tidak diragukan bahwa media informasi; cetak dan televisi memberi sumbangsi besar dalam proses membangun nilai-nilai 'Rasa Sayange' pada setiap individu. Bila pemerintah Malaysia memiliki keinginan baik untuk itu, maka sebaiknya media diberi keleluasaan bahkan arahan untuk melakukannya. Inilah salah satu masalah yang perlu dibicarakan kedua belah pihak, sehingga antipati terhadap negara serumpun tidak semakin berkembang dan menguat. Apalagi memunculkan issu kembali 'Ganyang Malaysia', ini sudah terlalu jauh dari nilai-nilai 'Rasa Sayange' dan menafikan eksistensi negara serumpun.
Indonesia juga perlu menciptakan kesan bahwa kemajuan ekonomi, pendidikan dan teknologi yang dicapai Malaysia, apalagi keberhasilan negara ini mengirim salah satu putra terbaiknya turut serta dalam misi luar angkasa, adalah juga kebanggaan sebagai warga negara serumpun. Keberhasilan itu juga mulai membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi negara tetangga kita ketinggalan jauh dengan negara maju lainnya. Dan kemajuan yang dicapai Malaysia, khususnya dalam bidang ekonomi dan keberhasilannya mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran adalah sukses yang layak diadopsi dan ditiru oleh Indonesia.
Semoga berbagai masalah yang terjadi antara negara kita, Indonesia dan Malaysia tidak semakin berlarut-larut dan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Apalagi sebagai negara serumpun yang selayaknya mengedepankan prinsip saling menghormati dan saling menghargai.
(Catatan perjalanan saat berkunjung ke Malaysia pada 29 September 2007)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H