Lihat ke Halaman Asli

Menyenangkan Hati Penguasa

Diperbarui: 16 Juni 2023   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tidak ada yang lebih dikhawatirkan oleh pelaku bisnis di Indonesia dibandingkan periode menjelang pemilihan umum. Menghadapi peristiwa politik ini mereka harus menyiapkan ekstra 'mata' dan telinga untuk melihat perkembangan yang terjadi dan segera mengambil langkah penyesuaian.

Namun demikian, kekhawatiran pelaku usaha secara umum tidak lebih besar dibandingkan para pengurus perusahaan milik negara atau perusahaan milik pemerintah daerah. Harus diakui, para pengelola institusi bisnis pelat merah itu dipilih tidak hanya lewat pertimbangan profesional semata, tetap juga banyak bumbu politiknya, yang kadang lebih menentukan.

Dari satu sisi hal itu memang bisa dibenarkan mengingat para profesional itu secara otomatis menjadi petugas negara ketika memimpin sebuah perusahaan milik pemerintah. Maka wajar jika pemerintah yang berkuasa saat itu menginginkan seseorang yang "mampu bekerjasama".

Tetapi di sisi lain, para top manajer ini juga harus mempertimbangkan urusan "menyenangkan hati penguasa", atau minimal "tidak menyinggung penguasa" dalam hampir setiap keputusan bisnis, terutama yang besar-besar. Sisi inilah yang seringkali mengganjal perusahaan negara untuk bersaing secara utuh dan fair dengan swasta.

Di sektor perbankan misalnya. Kita lihat Bank BRI dan Bank Mandiri terus mengibarkan pencapaian bisnis yang mengagumkan. Namun para petingginya selalu menyimpan rasa was-was ketika memutuskan sebuah langkah strategis dalam bisnis, dan kerap memasukkan unsur politik.

Berbeda dengan Bank BCA misalnya yang lebih leluasa dan dominan mempertimbangkan kepentingan bisnis dalam keputusannya. Bahkan bank ini dikenal sebagai bank yang selalu mempertahankan Direktur Utamanya dalam kurun waktu lama. Kenyataan itu pula yang membawa bank ini lebih sustain dalam menjalankana strateginya dan hasilnya terlihat dari kinerja usahanya.

Meski demikian, apa yang dialami oleh bankir-bankir pelat merah "masih belum ada apa-apanya" dibanding yang harus dijalani oleh bankir-bankir bank daerah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pengelola bank milik pemerintah daerah berhadapan dengan situasi yang serba tricky. Mereka dituntut untuk bisa menyelaraskan keputusan bisnisnya dengan ekspektasi dan kepentingan dari pemilik atau pemegang saham pengendali. Dan yang lebih menantang lagi pihak kedua itu seringkali tidak memedulikan aturan yang berlaku dari otoritas perbankan. Atau mungkin tidak tahu.

Kondisi itulah yang membuat banyak pengelola bank daerah yang pada akhirnya harus berhadapan dengan keputusan pahit, diberhentikan di tengah masa jabatan. Padahal mereka berasal dari bank-bank pemerintah atau swasta yang besar dan kinerjanya tidak mengecewakan. Hanya karena dianggap tidak sejalan dengan keinginan pengendali modal, mereka pun didepak. Apa yang terjadi dengan beberapa direktur utama Bank Pembangunan Daerah belakangan ini bisa memperkuat klaim tersebut.

Pengalaman di bank-bank besar yang mereka jalani itu tidak melulu menjadi bekal yang cukup dalam mengarungi lautan keinginan dan kepentingan pemegang saham bank daerah. Di masa depan, bisa jadi kondisinya akan terbalik, bank-bank nasional justru akan berebut bankir-bankir 'lulusan' bank daerah karena terbukti bisa menjalani karier yang lebih menantang. Bukan sebaliknya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline