Ekonomi terus bergerak. Seiring dengan pemulihan yang tengah berlangsung, putaran roda ekonomi terlihat makin cepat. Memang masih belum seperti sebelum krisis pandemi 3 tahun lalu, karena masih ada kekhawatiran munculnya varian baru wabah dan itu membuat semua orang menjadi sangat berhati-hati.
Semua orang berfokus pada hal-hal yang mereka bisa kendalikan, padahal lebih banyak faktor di luar mereka yang tidak bisa dikendalikan.
Apalagi setelah pandemi mulai terasa melunak, ancaman lain sudah keburu datang: krisis geopolitik di Eropa Timur. Bahkan --tidak berlebihan, jika kita menganggap kisruh politik antara Rusia dan Ukraina yang kemudian diintervensi oleh hampir semua negara barat, akan menghadirkan ancaman serius lain pada ekonomi.
Awalnya memang otoritas --terutama di sektor moneter, tidak terlalu menganggap serius kondisi ini, meski sudah dibarengi oleh normalisasi kebijakan moneter AS. Bank Indonesia "hanya" meresponsnya dengan menaikkan setoran wajib bank-bank, tidak ada penyesuaian pada suku bunga moneter.
Beberapa bulan berlalu, kisruh Rusia-Ukraina ternyata naik level sehingga menimbulkan risiko baru yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Sektor energi terlihat makin tidak terkendali dan harga minyak dunia terus melonjak. Bank sentral AS malah bikin kejutan itu makin besar karena menaikkan suku bunga acuannya dengan besaran yang lebih tinggi dari kebiasaan mereka selama ini.
Tentu saja beban untuk perekonomian Indonesia akan bertambah berat. Tanda-tandanya sudah muncul ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap sebuah fakta mengagetkan bahwa Pertamina diprediksi akan mengalami defisit Rp190 triliun sepanjang tahun 2022.
Sementara defisitnya pada 2021 yang mencapai Rp109 triliun juga belum dibayarkan pemerintah. Tagihan pertamina kepada Pemerintah totalnya Rp299 triliun sampai Desember 2022 nanti.
Kondisi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kenaian harga minyak mentah dunia. Pemerintah mengasumsikan bahwa harga akan berkisar di level 63 dollar AS per barel. Pada kenyataannya harga internasional sudah menembus 100 dollar AS. Makin mahal selisihnya makin besar uang yang harus dikeluarkan Pertamina.
Bahkan kenaikan harga minyak kali ini diprediksi akan mencapai 200 dollar AS perbarel. Kenaikan tersebut tentu akan menyebabkan impor makin mahal dan akan mengganggu neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia yang pada akhirnya bisa mengganggu nilai tukar rupiah.
Belum lagi jika dilihat dari sisi moneter ketika The Federal Reserve diperkirakan akan lebih massif dalam menaikkan bunga acuan. Biasanya Fed Fund Rate dinaikkan dalam besaran 25 basis poin maksimal. Tetapi kali ini bank sentral AS menaikkannya dalam besaran 50 basis poin, dan hal itu diprediksi akan berlangsung beberapa kali pada tahun ini.
Hal itu tentu harus sudah dapat perhatian serius dari Bank Indonesia jika tidak ingin dianggap behind the curve. BI harus menyiapkan kebijakan lanjutan yang lebih efektif untuk mengantisipasi risiko kenaikan Fed Fund Rate yang massif.