Lihat ke Halaman Asli

Memaksakan Diri

Diperbarui: 18 Agustus 2022   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada suatu waktu dimana kita diharuskan untuk memaksakan diri kita untuk melakukan sesuatu. Tetapi banyak pula saat dimana kita seharusnya tidak boleh memaksakan diri, apalagi melakukan sesuatu hanya sekadar untuk membuktikan sesuatu.

Akan tetapi memaksakan diri bukanlah hal yang ajeg. Artinya semuanya tergantung kondisi dan situasinya. Bisa jadi saat ini ketika kita ingin menyelesaikan dan melakukan sesuatu, hal itu bukanlah tindakan memaksakan diri karena banyak hal mendukung target itu. Sebaliknya, meski saat ini kita masuk dalam kategori memaksakan diri, namun pada saat yang lain, hal itu tidak tremasuk memaksakan diri. Faktor yang membuat kita masuk dalam kategori memaksakan diri atau tidak adalah kemampuan, energi, dan kapasitas dalam mengerjakan dan mewujudkannya.

Oleh karena itu penting untuk memahami situasi dan kondisinya. Sangat krusial untuk mengetahui kemampuan, energi, dan tentu kapasitas diri kita sebelum melakukan suatu hal.

Pemahaman dan pengetahuan seringkali datang ketika proyek tersebut sudah terlanjur kita rencanakan. Dan kita merasa gengsi untuk mundur dan tetap berupaya mewujudkan hal tersebut. Jika itu yang terjadi maka kita akan mengorbankan hal lain yang seharusnya bisa kita lakukan secara optimal.

Tidak terlalu sulit bagi masyarakat untuk melihat fakta soal ini, ketika rencana Ibukota Negara baru digulirkan di tengah situasi anggaran yang tidak mendukung. Kemudian muncul keyakinan bahwa pembangunan mega proyek itu akan dibiayai investor global kelas kakap. Belakangan, keinginan itu tampaknya tidak bakal tewujud.

Pasca hengkangnya Investor besar proyek IKN, SoftBank, yang tadinya disebut-sebut bersedia membiayainya juga masih belum jelasnya. Begitu pula komitmen Pemerintah Arab Saudi yang tadinya digembar gemborkan beberapa tahun belakangan akan menginvestasikan dana, masih belum 'kelihatan hilalnya'.

Kenyataan itu membawa kembali ide untuk membiayai proyek itu dengan uang negara, yang sejak awal pemerintah sendiri mengetahui bahwa itu bukanlah pilihan tepat. Malahan belakangan muncul usulan baru lagi bahwa proyek ini akan menggunakan pola crowdfunding (dana urunan) yang berasal dari seluruh rakyat.

Lemparan ide yang paling akhir itu tentu menjadi hal yang aneh. Sebabnya, ketika mengusulkan atau membuat rencana, bahkan mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara, rakyat tidak pernah ditanya kesediaannya. Begitu melihat jalan buntu terkait pendanaan, pemerintah mengajak masyarakat untuk iuran demi terwujudnya rencana tersebut.

Pemerintah tampaknya masih belum memiliki ketetapan pasti mengenai pendanaan Ibu Kota Negara Baru. Padahal target sudah ditetapkan bahwa pada 2024, Presiden ingin melaksanakan upacara kemerdekaan di sana. Waktunya hanya tinggal dua tahun kurang.

Dengan kondisi pandemi yang masih harus ditangani dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah, tidak seharusnya pemegang kebijakan mengurusi hal besar lainnya dulu. Setidaknya sampai kondisi benar-benar memungkinkan.

Omong-omong soal memaksakan diri, sekarang ini juga muncul keinginan untuk membuat Presiden Joko Widodo dipilih kembali untuk menjalani periode ketiganya. Padahal jelas-jelas konstitusi tertinggi republik ini membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode berturut-turut. Dan para pengelola negara itu tahu benar aturan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline