Lihat ke Halaman Asli

Kapitalisme Virtual

Diperbarui: 12 Agustus 2022   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Metaverse. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sejak dulu, orang-orang barat selalu terobsesi untuk menguasai sumber daya, baik alam maupun manusia. Zaman merkantilis menandai obsesi itu dengan pencarian besar-besaran akan logam mulia di seluruh daratan di bumi ini. Revolusi industri yang memunculkan kaum kapitalis meneruskan gelombang pencarian itu, hingga pada zaman kapitalisme modern yang dicari telah berpindah dari emas ke minyak bumi. Namun demikian obsesi penguasaan sumber daya itu tidak pernah pudar.

Bahkan tatkala dunia mulai terbelah antara yang nyata dan maya, kaum kapitalis bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan. Penduduk bumi mulai menggandrungi apa-apa yang ditawarkan oleh para pengembang game-game di dunia maya. Pada akhirnya orang-orang bisa berinteraksi di dunia virtual itu sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Fenomena itu tidak luput dari perhatian kaum kapitalis. Mereka pun mulai merambah pemikirannya bagaimana menguasai tanah harapan di dunia tersebut. Sama seperti ketika para utusan-utusan raja dan juga penjelajah Eropa berlayar menyeberangi lautan untuk mencari emas. Atau sama ketika para kapitalis modern mencurahkan segala pemikiran dan teknologi serta siasat politik untuk menguasai minyak bumi.

Pencarian "Tanah Harapan" yang bertujuan untuk menguasainya sejak awal itu telah diawali oleh Facebook dengan memperkenalkan apa yang dinamakan metaverse. Seorang ventur capitalist global, Matthew Ball, yang pertama kali memperkenalkan istilah ini membuat definisi. Metaverse adalah jaringan luas dari dunia virtual tiga dimensi yang bekerja secara real time dan persisten serta mendukung kesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran dan hak.

Mungkin definisi itu terlalu membingungkan. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook yang kemudian mendirikan perusahaan bernama Meta, tentunya juga punya definisi sendiri. Menurut dia, metaverse adalah seperangkat ruang virtual yang Anda dapat ciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan Anda.

Jika boleh saya persingkat menurut pemahaman saya, nantinya metaverse ini akan menjadi dunia baru, tanah baru. Di mana orang yang pertama kali "datang" akan menguasai tanahapapun aset yang ada di situ dan mengkapling-kaplingnya. Nantinya orang yang datang kemudian diharuskan untuk membeli atau menyewa 'aset-aset' itu. Tentu dengan uang nyata, meski diwakili dengan uang virtual untuk pertama kalinya. Pembeli kedua, bahkan, akan diberikan sertifikat sebagai tanda kepemilikan yang sah.

Transaksi berlanjut. Pembeli tanah-tanah di metaverse itu bisa mendirikan tempat usaha, seperti layaknya di dunia nyata, atau menyewakan kembali aset itu. Harapannya tentu akan ada orang yang datang membeli produk dan jasa yang ditawarkan yang ujungnya juga akan mengeruk pendapatan dari sana. Singkatnya, ekspektasi metaverse adalah berebut aset digital untuk kebutuhan hidpu virtual.

Pertanyaannya adalah, apakah ekspektasi itu akan mewujud, atau singkatnya, apakah semua itu akan laku? Jika melihat poa hidup anak-anak milenial dan gen Z sekarang, ekspektasi itu masuk akal. Mereka kini tidak bisa hidup tanpa dunia virtual, bahkan ketika harus mengeluarkan uang untuk itu.

Inilah yang akan dibidik oleh metaverse. Inilah yang dibidik oleh kapitalisme virtual.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline