Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Mendobrak Dogma Agama: Poligami-Perbudakan

Diperbarui: 27 Juli 2023   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

Sebuah bangunan rumah yang sempurna tersusun dari ide kekuatan, perlindungan, seni dan keindahan. Bahan bakunya dari sekian pernik yang berserakan kemudian ditata dan dilekatkan. Desainnya lengkap, mulai dari pagar, halaman, taman, teras, ruang tamu, utama, kamar tidur, dapur sampai dengan toilet sampai lokasi pembuangan najis dan kotoran.

Bagi arsitek dan tukang yang membangun, tentu akan tahu persis bagaimana sebenarnya rumah itu. Ada orang luar yang datang, mereka hanya bisa menduga, menghitung dan mengira-ira atau cukup mengagumi. Ada lagi mungkin orang yang penasaran, dan ketika memaksa untuk membongkar bangunan, dia hanya akan menemukan serpihan-serpihan "brongkalan" yang tiada guna selain jadi urug saja. Bisa jadi dia hanya akan berkomentar "Jadi begini rupanya hakekat bangunan ini. Tidak menarik dan rapuh." Atau ketika ia hanya fokus pada sudut halaman belakang tempat pembuangan diletakkan, mungkin di akan komentar, "rumah kok begitu".

Itu semua permisalan. Rumah yang utuh, seperti dogma. Dogma agama adalah sebuah bangunan utuh Sebuah sistem kepercayaan. Mulai dari yang pokok hingga yang "carangan". Sistem kepercayaan itu jika tidak utuh maka rapuh. Karena satu kepercayaan mesti ditopang dengan kepercayaan lain. Sistem merupakan satu kesatuan, sehingga tidak memungkinkan adanya penerimaan pada sebagian tetapi menolak sebagian lainnya. 

Namanya kepercayaan, dia bisa berbasis pada nalar logika, bisa juga berasal dari doktrin yang mau tidak mau cukup diyakini saja. Karena memang begitulah nalar keyakinan atau iman.

Sebagian orang ingin melakukan reintepretasi pada doktrin-doktrin agama. Tidak jarang merangsek terlalu jauh menyinggung wilayah doktrin. Secara umum, itu tidak masalah, selama itu dipandang sebagai satu perspektif nalar kemanusiaan kita. Artinya, seliar-liarnya pemikiran manusia mengenai Tuhan dan agama, itu tetap pemikiran manusia yang tidak akan memiliki pengaruh agama dan Tuhan itu sendiri. Paling banter, pemikiran itu merusak pikiran manusia mengenai Tuhan dan agama, tetapi tidak substansi keduanya.

Sebuah contoh, ada seorang mengaku muslim tetapi tidak setuju pada hukum poligami. Karena secara akal, Islam tidak mungkin menempatkan Wanita menjadi manusia kelas dua. Pada prinsipnya Islam mengajarkan kesetaraan, keadilan dan melarang tindakan diskriminasi. Namun, hukum poligami dipandang merusak nilai-nilai itu. Secara akal ini menarik. Namun sekali lagi, ini hanya secara akal manusia. Sekuat apapun penolakan, hukum poligami tetap ada. Mengapa karena itu sangat jelas tertuang dalam Kitab Suci.

Manusia hanya cukup mencari hikmah di balik syariat poligami. Karena kita tidak bisa mengakses langsung dokumen langit yang berisi keterangan jelas dan pasti mengapa harus ada hukum poligami. Bagi saya, manusia hanya berhenti sampai titik itu. Sampai pada titik, memilih akan menjalani atau tidak. Toh poligami itu bukan anjuran. Namun solusi bersyarat dimana syaratnya itu ketat. Saya lebih memilih sikap bahwa bukan dokumen agama yang keliru, tetapi cara pandang dan berpikir kita yang belum tepat. Ini kembali pada postulat awal, bahwa iman itu utuh. Sehingga kita tidak bisa menerima sebagian dan menolak yang lainnya.

Cara berpikir di atas terkesan fatalis. Seolah mematikan akal. Coba kita kupas. Justru, pemikiran menyandarkan pada teks agama, akan membawa pada petermuan yang proporsional antara akal dan dogma. Sampai saat ini, manusia belum bisa mengetahui rahasia dibalik semesta. Namun teks agama sudah menyinggungnya. Perintah agama untuk membaca, mengeksplorasi adalah ajaran nyata bahwa agama tidak melarang aktivitas berpikir. Namun, koridor utamanya dipatok. Silahkan kau mencari, jika belum atau tidak ketemu, jangan lupa titik balikmu, yaitu agama.

Islam yakin pada kualitasnya sendiri, kemanapun manusia lari, ia akan bertemu dengan realitas kebenaran agama. Makanya, Islam tidak pernah ragu, bahkan menantang siapa saja yang ragu pada kebenarannya untuk menguji dan membuktikan sebaliknya.

Sama seperti hukum perbudakan. Adanya aturan terkait budak dalam Islam tidak tidak bermakna menganjurkan perbudakan, melegalkan, atau melanggengkannya, namun andaikan perbudakan itu ada dan terjadi, Islam memiliki syariat untuk mereka. Ini adalah cara nalar yang jernih sekali, dimana faktanya Islam tidak menjadi keyakinan kebenaran semua orang. Jadi, terkait dengan bagaimana agama dan interpretasi atas agama, itu sangat jauh berbeda. Sayangnya agama terekspresikan dari ummat penganutnya, dimana mereka masing-masing memiliki interpretasi yang tidak sama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline