Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Mengapa Tidak Boleh Marah

Diperbarui: 26 Juli 2023   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://cdns.klimg.com/

Ada tiga alasan besar. Pertama, Allah melalui Rasul-Nya menasihatkan kepada ummatnya agar jangan marah. Kedua, marah itu melukai orang lain. Ketiga, marah itu melukai diri sendiri.

Kita bahas yang pertama. Tuhan perintahkan kita agar tidak marah, maka kita jangan marah. Sederhana. Perintah Tuhan adalah mutlak. Ada pengetahuan yang maha luas di balik setiap firman dan syariat-Nya. Maka, Islam meletakkan ketundukan sebagai pondasi agama. Tidak ada iman tanpa ketundukan. Dari sini, jelaslah sudah bahwa menaati perintah Tuhan adalah sebuah kemutlakan, dengan keyakinan selalu ada kebaikan di setiap titah-Nya.

Marah bagian dari nafsu merusak yang harus dikendalikan. Selain marah tentu masih banyak yang lain. Rasul sampai mengatakan sepulang dari perang badar, bahwa perang Badar adalah perang kecil, kita harus siap menghadapi perang besar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Pasca perang badar kita mudah jatuh kepada kesombongan, mudah merendahkan, dan rentan tersinggung yang pada akhirnya marah-marah. Ini adalah perang besar, maka jangan heran jika sesekali, bahkan mungkin seringkali kita kalah karenanya.

Kedua, marah itu melukai orang lain. Dalam aturan pidana Islam, melukai orang lain adalah pidana berat yang dapat dikenakan sanksi qishas. Namun melukai batin orang lain, melukai perasaan orang lain, melukai psikis orang lain, melukai harga diri orang lain? Apakah juga dalam Islam kenakan sanksi pidana... ini dapat kita perdebatkan. Namun yang jelas, marah itu adalah merendahkan orang lain. Orang yang direndahkan mengalami luka. Sakit yang tidak berdarah.

Ketiga, marah itu melukai diri sendiri. Allah melalui Rasul-Nya melarang orang menyiksa diri sendiri. Marah itu menimbulkan sakit pada pelakunya. Bahkan, marah itu adalah penyakit itu sendiri. Sehingga ketika kita sering melepaskannya, tidak meredamnya, tidak menyalurkan dalam bentuk yang proporsional, maka kemarahan itu merusak ke dalam.

Ketika marah, jantung berdegup lebih kencang. Aliran darah lebih deras. Nafas menjadi pendek-pendek. Otot-otot menegang. Pandangan mata tidak fokus. Gerakan badan tidak terkontrol. Ini adalah bukti jika marah itu berbahaya pada diri sendiri. Semakin sering kita marah, situasi di atas makin sering terjadi. Jika sampai melampaui garis batas, bisa kena spirit dan bahkan kartu merah. Selesai kita.

Marah yang Dibenarkan atau Dimaklumi?

Apakah manusia tidak boleh marah sekali. Kalau bisa, iya. Buat apa juga marah. Namun dalam kondisi tertentu sebagai pengecualian, barangkali kita bisa memberikan permakluman dan pembenaran. Tapi itu masih barangkali, karena bersifat subjektif. Ada yang bilang, kalo tidak dengan marah, suara kita tidak didengar. Maka marah menjadi metode agar gagasan kita lebih diperhatikan. Ada yang bilang, kalo situasinya sangat keterlaluan, sehingga "wajar" jika seseorang marah. Maka marah kemudian bisa dimaklumi.

Tapi coba kita lihat lebih jauh. Apakah benar dan sahih situasi tertentu bisa membenarkan atau memaafkan sebuah kemarahan? Nabi berpesan sangat tegas, jangan marah. Artinya, itu berlaku kapanpun dan di manapun. Dengan demikian tidak ada situasi yang mengecualikan. Oke, coba kita lihat lebih jauh lagi. Jika marah maka ide kita diperhatikan. Apakah ini benar? Tidak. Yang terjadi adalah orang memberikan intensi atau perhatian karena mereka tidak nyaman, sesak, dan sakit. Persetan dengan ide dan usulan anda. Bisa jadi, ide anda terlaksana dengan marah-marah, namun hakikatnya itu adalah upaya orang untuk mencari nyaman, bebas dari sesak dan sakit. Persetan dengan apa yang mereka wujudkan. Apakah ini yang sebenarnya kita kehendaki? Jika pada dasarnya kita orang "jahat" yang masa bodoh dengan orang lain, tentu situasi ini akan anda benarkan. Nyatanya kan ide saya baik, maka harus diterima, jika ditolak, wajar kalau saya marah. Buktinya, sekarang semua orang baik-baik saja dan diuntungkan dengan ide saya itu. Sebuah pembenaran yang sangat kuat. Apa iya demikian?

Ada situasi "keterlaluan" yang membuat kita tidak kuat menahan marah. Ini bukan permakluman. Ini adalah pengakuan, bahwa anda lemah, sehingga kalah dengan situasi. Yang mestinya dimaklumi bukan marahnya, namun kelemahan kita. Bukan menjadikan marah itu dianggap wajar, karena situasi yang sulit. Namun permakluman itu melekat dan ditujukan pada kelemahan kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline