Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Jeda

Diperbarui: 1 Oktober 2020   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jeda adalah pembatas di antara dua hal. Batas ini digunakan untuk membedakan masa lalu, sekarang, dan masa depan. Membedakan mana atasan mana bawahan, mana tangan mana badan, mana kepala mana dada, mana kiri mana kanan, mana utara mana selatan. Mana wilayah kuasa mana wilayah cela, mana benar mana salah, mana baik mana buruk, mana suka mana benci, mana gembira mana sedih, mana bangga mana kecewa, mana siang mana malam. Semuanya memiliki batas, yang kadang tidak pernah kita sadari keberadaannya. Itulah jeda.

Jeda sering kali tidak menarik untuk dibincangkan, tidak penting untuk diperdebatkan apalagi untuk dijadikan sebuah kontroversial. Jeda adalah sesuatu yang dalam anggapan umum tidak penting, karena keberadaannya menempel pada sesuatu lain yang pokok. Namun tidakkah kita pernah membayangkan jika tidak ada pagi atau sore untuk membedakan siang dan malam? Atau tidak ada angka nol untuk membedakan bilangan negatif dan positif?

Jeda adalah kondisi dimana manusia berada pada posisi yang menentukan. Posisi nol. Posisi yang bisa saja ditarik atau menuju semua titik penjuru yang mungkin. Titik nol untuk menuju arah yang dikehendaki kemudian. Itulah jeda.

Dalam kesibukan kerja, jeda menjadi satu kesempatan yang selalu dinantikan, satu waktu terbebas dari segala beban tanggungan, dan dalam waktu jeda itulah seseorang bebas untuk melakukan apa yang dia inginkan, bukan apa yang harus dia lakukan. Jeda adalah satu masa kebebasan. Itulah jeda.

Dalam sebuah persoalan untuk menentukan baik atau buruk, benar atau salah, indah atau jelek, moral atau amoral, hina atau mulia, jeda menjadi satu titik yang berjarak pada keduanya. Ia bukan baik atau buruk, ia bukan benar atau salah, hina atau mulia, tapi jeda adalah bukan keduanya. Dan dari titik jeda inilah seseorang atau siapapun bisa menilai dengan objektif sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah dan seterusnya. Satu wilayah yang berjarak untuk bisa menilai secara objektif dua tatanan yang berbeda. Itulah jeda.

 Jeda berbeda dengan iklan layanan masyarakat dalam penggalan-penggalan cerita di televisi. Jeda tidak menyuguhkan paksaan ataupun kekerasan untuk sebuah pilihan. Jeda bukan pula titik lampu merah dalam setiap perempatan. Jeda bukan sebuah keharusan yang mesti dilakukan. Jeda jelas berbeda dengan terminal atau stasiun dalam sebuah perjalanan, karena jeda memberikan kesegaran dan ketenangan. Jeda tidak mengancam keselamatan kita, jeda memberikan kita inspirasi yang steril. Itulah jeda.

Jeda, adalah saat kita menginsafi kekinian dengan melihat ke belakang kemudian menatap ke depan. Jeda memberikan satu evaluasi terhadap apa yang telah dan tengah kita alami, kemudian menimbang apa yang akan kita hadapi. Inilah jeda. Jeda bagi kita yang sadar akan perjalanan waktu dalam setiap detiknya.

Kehidupan kita bukan di jeda, tapi sebelum dan setelahnya. Jeda hanya waktu kita istirahat untuk melihat diri dan kenaifan kita, untuk kemudian melangkah kembali melanjutkan hidup. Selamat menikmati jeda. Semoga saya, anda, dan kita, bisa segera bangkit dari jeda ini.

Jogja, 27 Juni 2008

*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline