Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Memasung Anak Sendiri

Diperbarui: 10 September 2020   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anda yang hobi berpikir konsep, mungkin akan mengira bahwa judul tersebut akan menceritakan seorang tua yang membatasi ekspresi hidup anak-anaknya. Tentang kuasa yang memasung ide-ide, memaksakan kehendak dan ambisi usang yang tidak lagi relevan dengan masa kekinian. Tapi saya mohon maaf, anda mungkin akan kecewa. Ini tentang orang tua yang benar-benar melakukan pasung pada kedua kaki anak kandungnya sendiri bertahun-tahun lamanya. Maknanya begitu denotatif.

Kedua kaki anak muda itu diapit dua buah balok kayu besar dan diikat dengan rantai besi yang diikatkan pada tiang rumah. Dia terpaksa makan, tidur, bahkan buang air besar di tempat itu. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan dan rasanya. Sekilas mata yang memandangnya akan jatuh iba dan kasihan, sekaligus akan timbul pertanyaan mengapa orang tuanya tega berbuat seperti itu.

Kata berita di media kemudian memberikan ringkasan, kondisi yang "mengenaskan" tersebut dikarenakan kemiskinan. Ketiadaan kemampuan orang tua untuk memberikan "fasilitas" yang lebih. Pelayanan minimal itu terasa sangat tidak manusiawi, bagi siapapun, kecuali orang-orang yang memutuskan melakukan pemasungan tersebut. Mungkin.

Anak muda itu ternyata dianggap berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat, terutama anak-anak. Sebelum keputusan pasung diambil, orang tua pemuda itu dilapori tetangga-tetangganya. Ada yang mengadu kaca rumah dan mobilnya pecah, ada yang mengadu anak-anaknya di sakiti, ada yang mengadu ayam peliharaannya dicekik hingga mati, dan lain sebagainya.

Dengan sisa harta yang mereka miliki, anak muda itu diantar ke beberapa ahli. Namun hasilnya nihil sampai akhirnya kedua orang tuanya tidak sanggup lagi membawanya kemana-mana.

Dengan berat hati, kedua orang tua itu memutuskan untuk mengurungnya di dalam kamar. Namun apa daya, kekuatan muda anaknya berhasil menjebol engsel jendela di samping rumah. Dan kembali orang-orang mengeluh dengan keberadaan anaknya yang mengganggu. Kini pengaduan mereka bertambah, bahwa lingkungan jadi terasa kotor karena anak muda itu begitu dekil, bau dan kusut masai.

Akhirnya alternatif terakhir dengan memasung harus dilakukan. Usaha untuk mengobatinya sudah sampai puncak kemampuan mereka. Sawah ladang hampir habis untuk membiayai pengobatan. Keputusan terakhir mereka ambil, bahwa anak mereka itu memang mesti begitu (dipasung), dan mereka pun pasrah menerima karunia Tuhan yang satu itu. Mereka harus bersabar.

Memasung kedua kaki anak sendiri, kira-kira apa perasaan kedua orang tuanya? Mereka bisa saja melakukan dengan luapan kemarahan dan keputusasaan, memutuskan pemasungan dengan alasan menyelamatkan lingkungan dari kejahatan anaknya sendiri. Namun bisa saja mereka melakukan dengan keharuan yang begitu mendalam, melakukan demi keselamatan anak mereka tersayang yang begitu istimewa. Mereka tidak ingin, anaknya itu dihina orang, dipermainkan anak-anak, dikejar-kejar anjing kurap dan kemudian ditertawakan geli oleh pemiliknya.

Memasung kaki, menjadi satu tindakan kasih sayang yang paling tinggi, karena itulah satu-satunya yang mungkin bisa mereka lakukan, agar dalam pertanggungjawaban kelak di hadapan Sang Khalik, yang telah menitipkannya, mereka tidak terlalu merasa bersalah. Begitu tipis, perbedaaan tindakan beradab dan kebiadaban, semua bersumber dalam hati masing-masing. (Syarif_Enha).

*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline