Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Ter-Pojok

Diperbarui: 5 September 2020   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cara paling mudah untuk menangkap seekora ayam adalah dengan memojokkannnya di sudut ruang, sampai ayam itu tidak bisa lagi lari dan sembunyi. Namun jangan berharap bahwa ayam yang akan kita tangkap itu akan menyerah dan duduk manis menunggu kita tangkap. Sekuat tenaga ayam itu akan berontak terbang, atau menyerang balik meski tidak untuk menang, hanya sebagai bentuk perlawanan.

Memojokkan adalah usaha paling mudah untuk bisa menankap karena sempitnya ruang gerak yang dimiliki lawan. Sehingga memojokkan adalah salah satu cara untuk mencapai sesuatu yang lain setelah lawan kita terpojok. Mungkin dia seorang pembohong, kita pojokkan dia dalam suatu introgasi, agar dia mengaku.

Seorang terduga penerima suap, harus dipojokkan sampai dia tidak bisa lagi mengelak dengan argumentasi-argumentasi kosong, sehingga akhirnya dia akan tahu tidak lagi memeliki cara lepas dari jerat yang dia buat sendiri itu. Maka sering kita lihat pernyataan-pernyataan putus asa dari orang-orang yang tepojok, "Saya akan menuntut balik! Ini pencemaran nama baik!" Atau dengan menyatakan bahwa mereka tidak sendiri, "Akan saya buktikan, bahwa mereka juga tidak bersih." Tidak jauh beda antara manusia dan ayam, bukan?

Setiap kita mungkin sekali pernah merasakan terpojok atau bahkan pernah memojokkan orang lain dengan tujuan tertentu. Dalam keadaan terpojok, kita dipaksa untuk berpikir cepat, dan kalau bisa tepat. Karena jika tidak maka kita akan lumat digilas, dan kalau tidak tepat kita hanya akan menjadi bahan tertawaan.

Dalam keadaan normal, sering kali kita berusaha menghindari masalah, mencoba untuk menjauhinya. Kita takut tidak akan menemukan solusi atas masalah tersebut. Namun, dalam keadaan terpojok,dimana kita tidak lagi bisa menghindar dari masalah, kadang justru terbersit pikiran-pikiran sederhana yang bernas dan original, yang tidak pernah kita peroleh dengan proses pemikiran yang panjang dan mendalam. Tidak jarang pula kita akan tersenyum setelah keadaan terojok itu hilang, karena ternyata kita sebenarnnya sangat dekat dengan begitu banyak solusi atas masalah-masalah yang sering kita hindari. Jadi tidak selamanya terpojok itu berbuah keburukan.

Suatu ketika, kawan lama datang ke rumah kosan saya. Setelah panjang berbincang kesana kemari, dia bertanya, "kau masih sering datang ke acara maiyahan itu to?" dengan tanpa berpikir panjang saya menjawab "Masih." Ternyata jawaban saya berbuntut panjang. Tanpa menunggu lama dia kemudian meberondong saya dengan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataannya.

"Apa sih yang kau cari di sana? Apa itu negeri maiyah? Apa saja yang dilakukan penduduknya? Dalam keadaan negeri yang seperti ini, diam adalah pilihan hidup yang terlalu mewah. Jangan jangan memang benar maiyah itu hanya negeri asing tempat orang-orang kalah mengungsi, kemudian diam-diam membangun logika terbalik dan tertawa lirih penuh kebanggaan dari sudut yang gelap, tanpa melakukan apa-apa. Merasa bangga telah bebas dari sebuah rezim yang keliru.

Bagiku itu sangat cengeng, cobalah kau pikir, jika kau memang tidak punya mata, kau tidak akan dituntut untuk bisa melihat bukan, jika kau tidak dititipi kekayaan, Tuhan juga tidak menuntut untuk berzakat. Tetapi kalau orang-orang yang terkumpul setiap bulan bermaiyah itu, mereka adalah orang-orang hebat, jelas memliki potensi besar untuk sesuatu yang lebih besar, tidak saja cukup dengan diam memperhatikan keadaan kemudian berkomentar. Dengan potensi yang begitu besar, mestinya mereka itu bukan pada posisi menjaga diri untuk lepas dari bencana, namun mestinya lebih pada usaha untuk berperan aktif dan melakukan banyak perbaikan..."

Saya masih termangu-mangu tidak siap dengan serangan mendadak ini. "Bagaimana? Mungkin saja kau punya berderet jawaban dengan alasan-alasan yang masuk akal, tapi maaf, saya tidak tertarik pada jawaban dengan kata-kata... saya sudah lelah mendengar orang hanya bisa bicara..." Saya benar-benar merasa terpojok. Tidak ada yang bisa saya katakan untuk sekedar menanggapi atau menyanggah kata-kata kawan lama saya itu.

Tampaknya teh yang tadi saya buat sudah agak dingin. Saya pun keluar kamar sebentar, meramu dua cangkir kopi panas dan segera kembali. Saya sodorkan rokok kretek setelah saya membakar satu batang dan menghisapnya dalam-dalam. Kemudian akhirnya saya bicara. "Sudahlah, kita hanya berdua di sini. Di luar sana ada lebih dari lima milyar manusia dengan kepentingannya masing-masing. Jika sekarang kita berdua berdebat apalagi bertengkar, mereka tidak akan ada yang perduli. Jadi mari kita bergembira bersama saja-lah..."

Syarif_Enha@Smg, 7 Juni 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline