Ketika masih duduk di Sekolah Dasar, guru saya sering mengatakan kalau kita harus jujur. Setiap kali mencontohkan sikap jujur itu, guru saya selalu mengatakan: "Mengakui kesalahan yang telah kita lakukan, adalah contoh sikap yang jujur. Mengatakan apa yang sebenarnya adalah juga kejujuran. Ayo, siapa yang bisa menyebutkan contoh lainnya..." Kemudian anak-anak akan diam, clingukan dan senyam-senyum.
Ketika dalam pengajian, seorang da'i mengatakan dengan lantang, jujur adalah sifat yang mulia. Sifat para nabi, sifatnya para ahli surga. Sementara para motivator selalu mengatakan, jika kita secara jantan mau mengakui kesalahan yang dilakukan, tidak akan ada yang berkurang, justru akan bertambah ilmu kita dan kepercayaan orang lain kepada kita, karena mereka merasa aman dengan keberadaan anda yang terus mau belajar. Mendengar itu semua, kita akan manggut-manggut sambil (mungkin) berfikir, sekarang sepertinya tidak ada orang yang "sebodoh" itu...
Mengakui kesalahan adalah tindakan seorang kesatria atau "gentle man". Hampir semua orang mengenal dan menerima adagium ini. Artinya jika ada seseorang yang melakukan kesalahan kemudian dia mau secara terbuka mengakui kesalahannya, mestinya akan disambut dengan bukan saja akan dimaafkan, bahkan kalau perlu sanjungan dan pujian. Karena dia sudah menjadi seorang yang bersikap kesatria. Kalaupun dia menjalani proses hukuman, itu adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban yang terhormat.
Kesalahan di sini jelas berbeda dengan kejahatan. Kesalahan terjadi diakibatkan pada keterbatasan perhitungan dan kurang ketelitian atau kewaspadaan seseorang dalam melakukan tindakan. Sedangkan kejahatan timbul karena memang ada niat buruk yang bersumber pada pelaku.
Untuk kasus kejahatanpun, sebenarnya masyarakat kita masih bisa mentolelir ketika dia mau secara terbuka dan satria menyatakan akan bertanggungjawab dengan mengganti segala kerugian atau mengembalikan keadaan (menjadi) seperti semula. Tentu dengan adanya niat bertobat untuk tidak mengulanginya lagi.
Dengan sikap kesatria tersebut, masyarakat paling tidak merasa yakin dan aman begitu si pelaku selesai mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidak ada alasan bagi masyarakat untuk curiga atau khawatir karena dia adalah seorang kesatria.
Namun sekarang ini, adagium tersebut tampaknya tidak lagi berlaku. Mungkin adagium tersebut tetap ada, namun kita tidak lagi bisa melihat kesatria itu. Hal ini antara lain dipicu dari --bukan saja-- keengganan untuk menjadi kesatria, namun juga karena tidak adanya pengakuan bahwa orang yang bertindak seperti dalam adagium tersebut diakui sebagai kesatria.
Barangkali karena faktor inilah yang menjadikan mereka yang didakwa salah dan jahat enggan mengakui kesalahannya. Bahkan dengan segala cara memanipulasi kebenaran untuk pembelaan. Sehingga para jaksa harus bersusah payah untuk membuktikan dengan bukti-bukti yang seringkali sudah dikaburkan.
"Percuma saja saya mengaku, karena toh hukuman itu tetap saya terima. Dan masyarakat tidak mau memakluminya." Barangkali itu kalimat yang akan disampaikan para terdakwa maupun tersangka.
Lebih baik mereka mempertahankan diri dalam "kebenaran" mereka yang semu, karena toh vonis bebas mereka tidak menyebabkan masyarakat kembali percaya kepada mereka. Hal paling penting bagi mereka adalah tidak ada hukuman. Daripada dia mengaku dan diharuskan bertanggungjawab, namun tetap saja disebut pecundang.
Akan tetapi, bertindak kesatria sekalipun, jika hanya untuk tujuan agar disebut kesatria, pada dasarnya juga adalah pecundang. Sementara seorang yang dengan gigih memperjuangkan kebenaran yang diyakininya adalah juga seorang satria.