"Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Az-Zumar: 53)
Dikisahkan ada seorang lelaki pada kaum Bani Israil, dirinya telah melakukan dosa besar dengan membunuh orang tanpa alasan yang hak sebanyak sembilan puluh sembilan orang. Akan tetapi dosa-dosa itu belum belum mencerabut benih dan cikal bakal kebaikan dalam dirinya. Masih tersisa di dalam jiwanya secercah cahaya, setitik rasa takut kepada Tuhannya.
Hingga pada satu titik balik, dia ingin bertaubat dan mencoba menjadi orang baik-baik. Namun hatinya ragu, apakah dengan dosa yang begitu besar menumpuk, masih terbuka pintu taubat baginya. Kebimbangannya memuncak dan dia kemudian bertanya tentang orang yang paling alim, dia ingin bertanya kepadanya.
Orang yang pertama ditanyainya, tidak tahu orang yang paling alim, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang rahib. Mendengar keluh kesah dan cerita panjang lebar dari lelaki itu, rahib merasa bahwa dosa orang tersebut amatlah besar dan mengira Rahmat Allah tidak cukup untuk menaunginya. Dan manakala mendengar jawaban rahib yang menyatakan bahwa tidak ada pintu rahmat bagi laki-laki itu, dengan kemarahan dan keputusasaannya, lelaki itu membunuh si rahib.
Setelah membunuh genap seratus orang, lelaki itu tetap bertanya-tanya, tidak puas dengan jawaban rahib, karena sebenarnya harapannya kepada Allah sangatlah besar. Maka dicarinya kembali orang yang paling alim. Kemudian dia ditunjukkan seseorang yang dinilai orang-orang sebagai orang alim.
Setelah bertemu, lelaki itu mengadu, tentang kejahatannya, dosa-dosanya, dan usahanya untuk bertaubat. Mendengar itu semua, Si alim keheranan, "Siapa yang menghalangimu untuk bertaubat?" Kemudian si alim menyatakan bahwa rahmat Allah sungguh luas, dan pintu taubat terbuka lebar. Lelaku itu kemudian diminta untuk bertaubat dan meninggalkan desanya, karena itu adalah desa yang buruk, menuju desa yang baru, tempat dimana banyak orang beribadah kepada Allah. Di sana, dia bisa memualai kebaikan dengan beribadah bersama mereka.
Dengan dorongan hati yang kuat, lelaki itu segera beranjak menuju daerah baru yang ditunjukkan oleh si alim itu untuk memulai lembaran hidup baru. Kehidupan yang bersih, baik dan lurus, agar bisa mencuci jiwa yang kotor oleh dosa-dosa dan menghdupkannya dengan iman dan kebaikan.
Ketika lelaki itu berjalan dan sampai ditengah-tengah wilayah antara desa yang ditinggalkannya dengan desa yang akan ditujunya, maut menjemput. Maka meninggallah ia dalam jalan pertaubatan. Datanglah malaikat Rahmat akan mengurus, " Dia telah bertaubat dan kembali kepada Allah.
Dia datang dengan hatinya untuk menghadap." Sementara malaikat Adzab juga datang dan menyatakan, "Dia telah berbuata dosa dengan membunuh seratus nyawa, dan belum sempat berbuat baik sekalipun."
Di tengah perselisihan mereka, Allah menurunkan malaikat berujud manusia untuk menjadi hakim. Dia menyatakan kepada kedua malaikat itu untuk mengukur jarak mayat lelaki itu dari desa yang dituju dengan desa yang ditinggalkannya. Sebenarnya posisi laki-laki itu berada persis di tengah, namun Allah mewahyukan kepada desa yang dituju lelaki itu untuk mendekat, maka mendekatlah, kemdian Allah juga mewahyukan kepada desa yang ditinggalkannya untuk menjauh, maka menjauhlah.
Sehingga ketika diukur, didapati jarak jenayah lelaki itu dengan desa yang dituju lebih dekat satu jengkal, dengan ditambah dadanya tengah menghadap ke desa yang dituju tersebut. Maka malaikat Rahmat segera mengursi urusannnya, dan dosa-dosa yang besar diampuni.