Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Tapi Sampai Kapan?

Diperbarui: 18 Juli 2020   05:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap yang lahir akan mati, yang baru pasti akan usang. Begitulah hukum dasarnya, hanya yang tidak pernah barulah yang akan abadi, yaitu Tuhan.

Kita mungkin bisa merampas hak orang lain untuk dinikmat sendiri. Kita bisa saja menipu untuk bisa mendapatkan materi yang dicari. Tapi sampai kapan?

Mungkin orang-orang yang terampas hak-nya tidak melakukan apa-apa, atau barangkali juga mereka tidak menyadari atas tipuan kita, tapi sampai kapan?

Sampai kapan kita bisa bertahan melawan gelombang kebenaran? Sampai kapan kita bisa sembunyi dari tatapan yang curiga penuh prasangka? Sampai kapan kita mampu sembunyi dari getaran-getaran halus yang terus menggedor-gedor dinding nalar? Jika kita tidak peduli sekalipun, cepat atau lambat kotoran secara alamiah akan terbuang.

Dalam filosofi jawa dikenal sura dira jayaningrat lebur dening pangestuti, yang berarti angkara murka yang berkuasa akan musnah oleh keluhuran budi perkerti, jika tidak dalam waktu dekat, mungkin kelak suatu saat niscaya itu akan terjadi.

Kesadaran kesementaraan ini mestinya senantiasa kita jaga. Agar ada rambu dan rem ketika langkah-langkah pendek hidup kita menuju titik simpang sesat.

Dengan kesadaran kesementaraan ini pula, kita bisa menentukan target terukur dalam rangka kelanjutan kehidupan yang konon jauh lebih panjang.

Jika kematian adalah kepastian, mengapa kita justru berebut dan mati-matian bahkan bersikap durjana untuk kehidupan yang tidak pasti.

Pertanyaan, "tapi sampai kapan..?" secara diam-diam dapat kita simpan. Keluarkan ia pelan-pelan sehingga akan terasa efek dramatisnya. Ketika kita sedang asik-asiknya berenang dalam kedustaan dan sandiwara kosong kehidupan fana, tanyakan, "tapi akan sampai kapan kita hidup dalam kepalsuan?"

Tidak perlu kita marah-marah pada diri sendiri. Karena secara fitrah, tidak ada manusia suka dimarah-marah. Tanyakan saja, akan sampai kapan segala kecerobohan dan rasa tidak peduli itu kita pelihara. Tentu dengan ditampilkan dan digelar kenyataan pada diri kita, betapa semua yang kita anggap enak, mudah dan nikmat selama ini hanyalah sebuah kekhilafan.

"Tapi sampai kapan?" Sebuah pertanyaan refleksi bagi kita yang merasa ada yang tidak pas dalam lelaku hidup kita. Semua harus dijawab dengan jujur. Pertanyaan ini bukan pertanyaan refleksi bagi orang yang dalam hidupnya selalu merasa benar. Karena dia haru belajar "bertanya" terlebih dahulu untuk menghardik keangkuhan dirinya.

Syarif_Enha@Sorogenen 21, 20_April 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline