Usai salat dzuhur di sebuah masjid, saya duduk-duduk sambil mendengarkan acara tausiyah dari seorang ustadz. Beliau mengkaji tafsir tentang Ya'juj dan Ma'juj dari aspek sejarah dan konteks sejarah kekinian. Menarik. Dan yang lebih menarik lagi, beliau selalu membawa catatan khusus apa yang beliau sampaikan. Sehingga selain bisa mendengar (yang biasanya setelah selesai langsung lupa), para jamaah bisa mengingat kembali dari bahan bacaan beliau yang diperbanyak dan bagikan.
Ya'juj dan Ma'juj adalah sebutan bagi bangsa yang selalu bikin onar dan merusak. Dalam sejarah, hanya Raja Dzulkarnain yang bisa menaklukkannya. Dalam satu bahasan terakhir, beliau menyatakan bahwa pada masa kekinian, umat Islam seperti tengah mengulang sejarah.
Dunia Islam dikuasai dan dikontrol oleh Ya'juj dan Ma'juj dalam manifestasi yang berbeda diwakili oleh Ras Tetonik dan Anglo Saxon. Dan harapan pada proses sejarah yang berarti akan datang sosok manifestasi dari Raja Dzulkarnain akan segera muncul mendamaikan bumi. Dan sekali lagi, beliau menyatakan bahwa sosok itu telah diramalkan banyak orang akan muncul dari dunia Timur ataupun Timur Tengah.
Timbul kemudian tenggelam, berkuasa kemudian runtuh adalah gambaran sejarah. Tidak ada kekuasaan yang sejak mula sampai sekarang tidak pernah mengalami kondisi demikian. Sejarah adalah pelajaran berharga. Bukan saja bisa memberikan keluasan wawasan, namun ternyata juga bisa menumbuhkan banyak harapan. Bahwa sejarah terus akan bergerak melampaui manusia.
Namun, sejarah menjadi kosong dan tidak berarti apa-apa bagi bangsa yang menutup mata dan berdoa dengan angan-angan. Artinya, sejarah memang terus bergerak, namun dia bukan mahluk asing diluar manusia yang berbangsa-bangsa. Sejarah hanyalah sebuah cacatan perjalanan umat manusia dengan sekian banyak peristiwa. Sehingga sejarah, bagaimana dan kemana arahnya, yang menentukan adalah manusia-nya juga.
Jadi, jangan berharap terlalu banyak akan kehadiran Ratu Adil, atau sosok representasi Dzulkarnain yang akan membawa dunia pada titik keseimbangan, jika kita sendiri tidak nyicil menyediakan tempat, suasana, iklim dan atmosfir yang memungkinkan bagi seorang Ratu Adil atau Dzulkarnain itu untuk hadir.
Pada akhirnya, saya sangat terkesan ketika Ustad di sebuah masjid itu mengutip kata-kata Imam Syafi'i. Barangkali ketika berkata-kata, Imam Syafi'i tidak bermaksud membicarakan tentang sejarah manusia yang berbangsa-bangsa. Namun kalimatnya begitu relevan dan mengena.
"Barang siapa mempelajari al Qur'an agunglah nilainya, dan barang siapa memperdalam ilmu hukum akan meningkat derajatnya, dan siapa menulis hadits niscaya kuatlah argumentasinya, dan barangsiapa yang mempelajari bahasa lembutlah karakternya, dan orang yang mempelajari ilmu hitung bersihlah fikirannya, dan barang siapa yang tidak memelihara dirinya tidaklah bermanfaat ilmunya bagi dirinya."
Bagaimanapun, manusialah pemegang kendali. Sehingga kita sudah semestinya memberikan apresiasi tinggi atas pilot projek Orde Baru yang digagas Suharto: Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya. Implementasinya bisa kita lihat dan rasakan sendiri, betapa membangun manusia untuk siap menggerakkan sejarah itu tidak mudah. Alih-alih menjadi manusia seutuhnya, kita itu masih kesulitan untuk meninggalkan tradisi kebinatangan.
Imam Syafi'i dengan kata-katanya seperti hendak mengatakan, bahwa selama kita menjunjung ilmu tinggi-tinggi, maka masa depan masih bisa diselamatkan. Apapun bidang ilmu yang dikembangkan. Satu kepala tidak memungkinkan untuk menguasai seluruh pengetahuan. Sementara, semua jenis pengetahuan bisa digunakan untuk mewujudkan satu tujuan. Namun jika asik dalam kejumudan dan tak acuh kepada cahaya terang ilmu, maka jadilah rayap yang selalu cepat-cepat bersembunyi karena malu melihat penampakan dirinya sendiri pada diri kawan-kawannya ketika sebuah balok kayu kita angkat dari tanah yang basah di musim hujan menjelang senja.
Syarif_Enha@TamanSiswa, 2012