Kebanyakan kita (atau mungkin hanya saya saja), mendengarkan ceramah seperti gelas yang menunggu kucuran dari teko berisi air. Sudah jarang yang berlaku seperti timba yang keliling datang mencari sumur, kemudian turun ke dasar dan mengambil sebanyak ia bisa ambil.
Filosofi di atas tampaknya hanya tepat bagi para ilmuwan. Orang-orang yang secara garis kehidupannya memang memposisikan pada jalur keilmuan. Filosofi ini menjadi tepat, karena akan menuntun mereka pada jalur yang dipilih. Masing-masing berjalan pada rel ilmu pengetahuannya dengan sesekali bertegur sapa di persimpangan dan titik pertemuan. Masing-masing memiliki sumur ilmunya sendiri.
Filosofi ini tidak cocok untuk ilmuwan "jadi-jadian". Yaitu orang yang jalur capaian ekonomi dan kekuasaannya melalui jalur ilmu. Berapa banyak pengajar yang mendalami keilmuan karena murni pengembangan ilmu itu sendiri? Bisa dihitung dengan jari (bisa jadi jari orang sekampung, jika ternyata banyak).
Sebagian besar (mungkin ini asumsi) merasa terpaksa bergaya ilmuwan, karena dari sana diperoleh pundi-pundi kekayaan dan kekuasaan. Bagi orang model ini, filosofi ini jauh dari memadai, bahkan mungkin tidak akan berguna sama sekali, karena hanya akan diabaikan saja.
Filosofi ini cukup baik. Tetapi, bagi kebanyakan orang, tampaknya filosofi ini tidak atau kurang pas. Bagi kebanyakan orang, ilmu masih berada pada strata nilai yang tidak utama.
Ada kedudukan ekonomi dan kehormatan yang berada di atasnya. Sehingga mencari ilmu adalah sisa-sisa waktu luang di tengah kesibukan mengumpulkan uang dan menumpuk kehormatan. Dalam situasi ini, orang yang mau duduk dan mendengar orang bicara ilmu, adalah istimewa.
Kebanyakan kita rajin mendatangi majelis ilmu dengan kekosongan, tanpa upaya menakar memperhitungkan mengukur dan sebagainya. Bahkan, kita terlanjur menikmati dan mencukupi pengetahuan bahwa mengaji itu baik, sehingga datang ke pengajian adalah kebaikan tersendiri.
Apapun yang disampaikan penceramah ditampung karena memang itu yang dikucurkan. Jikapun kita sudah penuh, karena teko masih isi, dan terus dikucurkan tumpahlah kemana-mana ilmu itu.
Perilaku di atas, menjadikan kita kurang bersikap kritis. Kita tidak memiliki daya saring yang cukup. Padahal Dai, Muballigh, atau Penceramah adalah juga manusia, yang bisa jadi salah atau kurang tepat dalam penyampaian ilmu.
Kita jadi benar-benar seperti gelas yang terbuka. Tidak ada kemampuan kontrol pada teko mana dan isinya apa yang nantinya akan dituangkan.
Bisa jadi, hari ini gelas diisi kopi, besoknya teh, selanjutnya soda gembira, hari lain jamu atau bahkan tuak dan minuman keras. Fenomena inilah yang barangkali menjadi penyebab keluhan banyak jamaah yang mengaku sering bingung, karena adanya banyak pendapat yang berbeda-beda.