Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Mengapa Hukum Perlu Mengatur Hoax?

Diperbarui: 30 Juni 2020   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa kali mengikuti forum terkait hoax ternyata telah memberikan sebuah pandangan baru. Pada awalnya, saya berpikir bahwa hoax itu hanyalah guyonan yang tidak lucu dalam media internet.

Hoax adalah lelucon garing, yang pada masanya nanti para pemainnya lelah dan kemudian musnah. Kehawatiran tentang rusaknya masyarakat konsumen hoax juga saya pandang remeh. Awalnya mereka akan percaya, kemudian akan kecewa, selanjutnya mereka akan hati-hati, dan pada puncaknya mereka akan menertawakan. Betapa begitu remeh pandangan saya itu.

Setelah mengikuti beberapa kali forum, saya mulai berpikir bahwa hoax itu bukan main-main. Ada persoalan besar yang melatarbelakangi kemunculannya dan yang akan diakibatkannya. Hoax tidak hadir begitu saja karena keisengan.

Berdasarkan beberapa hasil study, hoax yang paling banyak disebar dan bersifat konsisten adalah hoax yang bermuatan politik. Ada kepentingan yang diperjuangkan secara sistematik dengan cara menyebarkan hoax. Ini jelas bukan keisengan. Ini skenario.

Akibat dar hoax itu sendiri ternyata tidak sederhana. Ada bagian paling sensitif dalam diri manusia, yaitu bagian syaraf otak yang berfungsi untuk melakukan perlindungan otomatis menjadi terganggu.

Akibat dari seringnya mengkonsumsi berita hoax, ada dua kemungkinan kerusakan, pertama pikiran kita terkooptasi informasi keliru yang terlanjur dibenarkan oleh sistem bawah sadar. Kedua, sistem perlindungan tersebut menjadi sangat sensitif sehingga mempengaruhi nalar sehat, akibatnya orang menjadi mudah marah, tidak percaya, dan selalui curiga. Pikiran negatif menguasai nalar sehatnya.

Terkait dengan sebab kemunculan hoax, ada beberapa model hoax. Pertama, adanya berita atau informasi hoax dipicu dari adanya media mainstream yang tidak mampu menampilkan diri secara independen dan berimbang dalam pemberitaan

 Hal ini menjadikan banyak pihak kemudian menggunakan kanal pribadi untuk menyalurkan informasi yang dia ketahui dan alami sendiri kepada khalayak. Jadilah kita masuk di era cityzen jurnalism. Seburuk-buruknya wartawan, mereka pernah menerima pembekalan dan pelatihan kode etik jurnalistik.

Bagaimana dengan cityzen yang berusaha menampilkan berita yang tanpa disadari mereka mengalami bias yang luar biasa. Hoax model ini, murni terjadi karena persoalan personal pemberi kabar berita yang tidak mampu membedakan antara fakta dan opini. Sehingga yang dia sangka kebenaran fakta ternyata adalah opininya sendiri yang kadang bernuansa politik, bahkan sara.

Kedua, hoax dipicu karena murni keisengan. Hoax model ini biasanya berupa konten yang lucu namun dan remeh, hanya sekedar untuk hiburan. Sumbernya beragam dan tersebar,  tidak ada momentum khusus. Hoax model ini Bersifat reaksioner terhadap fenomena yang muncul. Tidak berbasis idiologi khusus. Hoax model ini bersifat menyehatkan. Jika ada yang mempersoalkan hoax model ini, mungkin seseorang itu kurang piknik.

Ketiga, hoax yang dibuat secara terstruktur, masif dan sistematis. Hoax ini yang berbahaya. Biasanya hoax ini dibuat dengan sangat serius dan untuk mencapai tujuan tertentu. Meski kadang bersifat reakisoner, namun garis maksud sebarannya tetap konsisten. Inilah hoax yang bernuansa politik. Menduduki presentase tertinggi menjelang perhelatan politik di sebuah negara. Indonesia mengalaminya saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline