Sangat miris di hati kita bersama ketika mendengar berita dari Surabaya. Peristiwa yang benar-benar tidak mudah segera kita cerna, namun nyata. Seperti berhadapan dengan kenyataan hujan masih saja mengguyur di musim yang disebut ilmu pengetahuan sebagai musim kemarau. "kemarau basah", kata orang di angkringan. Jika masalah hanya hujan mungkin cukup diantisipasi dengan payung, jas hujan, atau sekedar berteduh, atau biarkan saja kan kita ada dalam ruangan jadi tidak masalah. Tapi ini masalahnya lain, ini tentang anak-anak.
Jika ada berita anak-anak nakal kelahi dan pulang sekolah babak belur, mungkin itu adalah fenomena peninggalan jiwa heroik para pahlawan kita dahulu. Tapi ini lain. Anak-anak itu tertangkap karena sedang "melacurkan" diri dan kawan-kawannya. Menjual diri untuk beberapa lembar kertas yang disebut dan dipuja sebagai uang. Anak-anak yang belum genap berumur 15 tahun, sudah begitu mengerti harga tubuh mereka. Melalui fasilitas telepon genggam, mereka menawarkan diri dan kawan-kawannya yang mau "jualan". Dengan uang minimal 750 ribu, laki-laki hidung penyok bisa menggunakan "jasa" mereka. Luar biasa.
Dalam perspektif hukum, anak-anak itu disebut sebagai "anak yang berhadapan dengan hukum". Karena mereka dianggap telah melanggar norma hukum. Karena masih anak-anak (belum usia 18 tahun, dan belum pernah menikah), mereka diperlakukan khusus sebagai bagian pemenuhan jaminan hak-hak anak ketika berhadapan dengan hukum.
Seperti polisi yang menyidik tidak boleh pakai seragam, dimintai keterangan dengan bahasa yang tidak menekan, memperoleh pendampingan psikologis, memiliki hak untuk tidak dipublikasikan di media, dan lain sebagainya.
Pada intinya, hukum menempatkan mereka bukan sebagai seorang pelaku murni, melainkan juga korban dari berbagai tekanan atau pangaruh keadaan yang ada. Sehingga pertanggungjwaban mereka atas perbuatannya tidak sebagaimana orang dewasa. Sampai di sini hukum berhenti. Hukum hanya menyelesaikan persoalan begitu masalah itu sudah terjadi. Hukum dalam bentuk perundang-undangan tidak menjangkau sebab dan latar belakang anak-anak melakukan hal tersebut. Hukum mengurus masalah hilir. Akibat perbuatan berdasarkan pertanggungjawaban pelaku.
Namun, yang jelas. Dalam sebuah peristiwa pidana selalu ada dua pihak, pelaku dan korban. Pelaku yang sekaligus korban dan atau korban yang sekaligus juga pelaku. Dalam hal ini, saya belum mendengar ada pelaku laki-laki yang menikmati tubuh para gadis belia itu di bekuk oleh aparat, atau media tidak tertarik dengan itu. Padahal justru merekalah yang semestinya dihukum berat dan paling bertanggungjwab, karena melakukan hubungan intim dengan anak yang diketahuinya masih di bawah umur, atau setidaknya patut menduga bahwa anak tersebut masih di bawah umur.
Lain halnya jika pengamat sosial dan pemerhati anak berkomentar. Dunia anak adalah dunia yang penuh dengan rasa ingin tahu dan mencoba, labil dan sembrono, sehingga mudah terjerumus dalam banyak hal yang sifatnya buruk. Makanya, peran orang tua menjadi alat kontrol menjadi teramat penting.
Masyarakat juga bertanggungjawab atas banyak peristiwa kenakalan remaja. Budaya permisif pada prilaku bebas di dunia orang dewasa telah menjadi cermin yang begitu jelas sehingga teramat menarik untuk ditiru oleh anak-anak. Industri iklan juga dilihat sebagai salah satu faktor. Anak-anak yang labil akan sangat mudah dihasut ketika "rasa ingin memiliki-nya" digelitik. HP-BB-Perhiasan-Kendaraan, menjadi alat ukur kesenangan yang paling sederhana seringkali ditawarkan. Televisi menjadi salah satu benda yang akhirnya paling sering dipersalahkan.
Tokoh ulama selain menyatakan prihatin, segera membuat fatwa bagi masyarakat untuk meningkatkan pengawasan dan pendidikan anak dalam hal ilmu agama. Tipisnya iman dan taqwa menjadikan anak-anak mudah tergoda oleh iming-iming kesenangan materi. Tidak ada yang berani membantah pernyataan ini.
Dengan adanya komentar dan fatwa di atas, yang jelas masalah bukan berarti selesai. Kita tidak pernah tahu persis, mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi. Apa motif sebenarnya dari anak-anak kita itu? Dan tidak cukup pertanyaan itu yang harus dijawab, pertanyaan mengapa motif itu yang kemudian muncul, menjadi lebih penting.
Sehingga masalah tersebut bisa diurai dan selesaikan dari akarnya. Jelas tidak mudah. Karena boleh jadi, kita semua termasuk manjadi faktor pendorong timbulnya motif-motif naif anak-anak untuk memperoleh kesenangan. Atau kita pula jangan-jangan yang secara tidak sadar telah mengajarkan bahwa kesenangan itu hanya materi semata.