Untuk memahami keseluruhan tentang kehidupan, waktu kita seumur hidup belum tentu cukup. Untuk memahami seluruh peristiwa, tidak mungkin kita mengalami sendiri satu persatu. Yang kita butuhkan adalah kearifan untuk bisa menemukan arti dasar dari segala peristiwa, yang mungkin tidak langsung kita alami sendiri. Menemukan hikmah dari setiap peristiwa, menyerap ilmunya dan mempraktekkan dalam kehidupan. Adalah Imam Al Ghozali, memberikan kita pelajaran melalui pemahamannya yang dalam.
Pada suatu hari, dalam majelis ilmu yang dihadiri oleh banyak muridnya, Imam Al Ghozali bertanya enam pertanyaan. Pertama, beliau bertanya, apakah yang "paling dekat" dengan diri kita? Para murid saling bergatian menjawab, saudara, orang tua, pakaian, dan sebagainya. Imam tidak menyalahkan mereka, dan sambil tersenyum beliau menimpali bahwa semua jawaban mereka tidak keliru, tetapi jawaban yang paling tepat menurutnya, sesuatu yang paling dekat itu adalah "kematian." Karena kapanpun dan di manapun, kita bisa ditemuinya, bahkan sesaat setelah makan pagi sekalipun. Semua murid mengangguk-angguk mengerti.
Pertanyaan beliau yang kedua, apakah yang "paling jauh" dari diri kita? Para murid menjawab, Cina, Bulan, Bintang, dan sebagainya. Imam Al Ghozali tidak menyalahkan. Kemudian dengan lembut beliau berkata bahwa yang paling jauh itu adalah "masa lalu." Seberapa kuat kita berusaha untuk kembali, masa lalu tidak mungkin tercapai dan berulang. Jadi berusahalah sebaik yang kalian bisa saat ini, jangan sampai sesal di hari esok karena kebodohan kita hari ini.
Pertanyaan ketiga, apakah yang "paling berat" dalam hidup ini? Para murid menjawab batu, gajah dan sebagainya. Kemudian, Imam Al Ghozali berkata bahwa jawaban mereka tidak keliru, tetapi yang paling berat dalam hidup ini bagi manusia adalah "amanah". Dalam sejarah manusia, tidak terhitung lagi jumlah penghianatan manusia atas amanah-amanah yang mereka emban. Seorang kawan atas kawannya, orang tua atas anak-anaknya, guru atas murid-muridnya, tukang atas pekerjaanya, pemimpin atas rakyatnya.
Pertanyaan yang keempat, apakah yang "paling ringan" dalam hidup manusia? Hadirin menjawab, kertas, kapas, awan dan sebagainya. Al Ghozali tidak menyalahkan mereka, tetapi menyatakan bahwa yang paling ringan bagi manusia adalah "shalat." Bagaimana tidak, dengan alasan yang sangat remeh, mungkin karena capek, mengantuk, sibuk, dan sebagainya, kita dengan amat ringan menunda shalat dan bahkan meninggalkannya.
Pertanyaan kelima, Imam Al Ghozali bertanya tentang apa yang "paling besar" dalam hidup ini? Serta merta para murid menjawab, gunung, bumi, matahari dan sebagainya. Sang Guru hanya tersenyum dan tidak menyalahkan, kemudian berkata, sebenarnya yang paling besar adalah hawa "nafsu manusia." Karena besarnya nafsu manusia, bahkan dunia seisinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kita harus bisa mengendalikannya agar tidak menjadi buas.
Pertanyaan terakhir beliau adalah apakah yang "paling tajam?" Semua muridnya menjawab kompak, pedang! Namun menurut Imam Al Ghozali yang paling tanjam itu sebenarnya adalah "lidah." Karena sekali tebas, pedang mungkin hanya bisa menghabisi satu atau dua nyawa, tetapi lidah, dengan satu kalimat, seratus nyawa atau bahkan mungkin satu negara bisa musnah karenanya. Makanya berhati-hatilah dengan lidah, karena dia tajam, bisa mengiris musuh dan kadang bisa membunuh diri sendiri.
Begitulah cara Imam Al Ghozali memberi nasehat kepada murid-muridnya, dan kita semua tentuanya melalui enam pertanyaannya. Tinggal persoalannya pada diri kita ini, bagaimana akan menempatkan nasihat itu.
Dalam sebuah kisah, Nasruddin ditanya orang-orang, apakah hal yang paling berharga? Dia menjawab, nasihat. Semua orang mengangguk setuju. Kemudian mereka bertanya lagi, apakah yang paling tidak berharga di dunia ini? Sekali lagi Nasruddin menjawab singkat, nasihat. Orang-orang yang bertanya bingung, mengapa dua pertanyaan yang bertolak belakang dijawab dengan jawaban yang sama? Nasruddinpun menjelaskan, Nasihat akan menjadi sesuatu yang paling berharga jika didengar dan dilaksanakan. Tetapi akan menjadi sesuatu yang tak berarti apa-apa jika tidak pernah dilakasanakan. Nasihat hanya akan menjadi angin lalu yang tak berbekas. Bagaimana dengan kita?
Syarif_Enha@Semarang2009
*Pernah dimuat dalam Majalah Pesan Trend Edisi 3/Th.I Mei 2009