Saya telah mengamati beberapa lama keberadaan virus ini. Awal mula muncul saya tidak perduli, karena lokasinya cukup jauh, di China. Saya tentu saja hanya mengamati, tidak sampai menganalisa, karena saya bukan ahli virus. Saya hanya mengamatinya saja.
Kemunculan virus ini disinyalir berasal dari hewan, kelelawar. Menular ke manusia karena melalui pola konsumsi manusia yang radikal. Kelelawar kok dimakan. Tapi bagaimana lagi, ada saja manusia yang penasaran dan suka tantangan, atau sekedar ingin gagah-gagahan, mau menyampaikan kepada banyak orang bahwa mereka berani makan hewan pengerat yang suka hidup di malam hari itu.
Begitu virus ini muncul, menginfensi manusia, terjadi kepanikan. Karena persebarannya lebih dahsyat dari kecepatan terbang seekor kelelawar. Tidak lebih dari tiga bulan, ratusan ribu manusia di ratusan negara sudah terjangkit. Luar biasa. Apalagi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Ditambah, klaim bahwa belum ada vaksin dan obat khusus yang dapat digunakan menangkal virus ini. Jadilah ia pageblug bagi umat manusia.
Reaksi awal ketika virus ini muncul adalah sikap lega. Bahwa sudah sepantasnya orang sakit karena makanan yang tidak jelas itu. Sebuah praktek yang secara moral seperti buruk, sehingga wajar jika berbuah pendemi. Tapi itu mungkin sikap saya yang berada di lokasi jauh dari wilayah pandemi itu. Seolah, cukup jauh lokasinya jika harus melompat ke Indonesia. Namun semua itu segera berubah. Sikap lega itu berubah jadi kutukan, umpatan dan serapah. "kalian yang bikin ulah, kita semua harus ikut nanggung akibatnya", karena virus ini tiba-tiba sudah ada dan tengah menuggu di depan pintu gerbang rumah.
Kegemparan dan kepanikan tiba-tiba saya rasakan. Hanya sebentar saja. Ketika di suatu hari, tiba-tiba kita harus memutuskan menghentikan aktivitas kumpul bersama dalam segala bentuk. Setelah itu, ya biasa saja. Agak bebal memang. Tapi apa boleh buat. Tidak ada yang bisa dilakukan selain santai dan selalu waspada. Karena katanya jika panic justru akan membuat imunitas menurun.
Dalam proses pengendalian pendemik ini, manarik jika diamati reaksi orang-orang. Ada yang panic, paranoid, sedang-sedang saja, atau ada yang menyepelekan kondisi pendemik ini. Segala pentuk upaya mulai himbauan, surat edaran, fatwa majelis ulama, sosialiasi melalui media sosial untuk melakukan pencegahan dengan mengurangi aktivitas di luar rumah, tetap saja tidak berjalan maksimal. Karena polarisasi sikap itu tetap ada. Ya bagaimana lagi, manusia itu berbeda-beda. Jadi ya wajar saja.
Banyak yang menyayangkan sikap pemerintah yang kurang cepat taggap dan tumpeng tindih. Berbagai macam komentar bersliweran. Semua mengomentari, semua membandingkan, semua mengandaikan, semua menganalisa, semua akhirnya hanya sebatas ribut saja. Tentu tidak mudah mengambil kebijakan nasional dalam lingkup negara kepulauan yang luas luar biasa.
Alhamdulillah, di tengah situasi seperti ini, seperti biasa akan memunculkan dan memanggil jiwa-jiwa yang penuh solidaritas. Di tengah banjir komentar negatif dan informasi simpangsiur tentang virus, ada sebagian orang yang memilih jalan pasti. Braksi dengan membantu. Membantu apa saja, ada yang melakukan penyemprotan disinfektan ke rumah-rumah warga, ada yang swadaya membuat cairan pencuci tangan dan membagi-bagikan geratis, ada yang membuat APK dan mengirimkan ke rumah sakit garda terdepan, ada juga yang suka rela membagi-bagi makanan kepada orang-orang yang diduga terdampak virus secara ekonomi. Semua bergerak dengan kesadaran bahwa kita butuh kebersamaan untuk melawan virus bukan sekedar saling menyalahkan.
Akhirnya, semoga virus ini segera berlalu. Sungguh tidak nyaman hidup dalam terror virus yang tidak kelihatan di mana dia nempel. [Tegalsari_30 Maret 2020]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H