"Mudahnya mengakses informasi tidak berbanding lurus dengan kemudahan mengakses kebenaran." Begitu kira-kira jika saya hendak berhipotesa ketika melihat arus informasi yang begitu sesak di media. Kita hampir-hampir frustasi dan apatis. Lelah untuk menimbang mana informasi yang benar dari sekian banyak kabar yang seringkali bertolak belakang.
Coba saja anda perhatikan dan bandingkan, informasi tentang kedokteran dan pengobatan alternatif. Informasi tentang nikotin dan farmasi. Informasi tentang imunisasi dan konspirasi. Informasi tentang pencitraan dan korupsi. Informasi tentang Islam dan perilaku muslim. Semua serba membingungkan, simpang siur dan tidak jelas. Masing-masing mengklaim sebagai pemilik kebenaran. Tentu saja kebenaran dalam fersinya masing-masing.
Agar tidak turut limbung dalam arus informasi, ada baiknya kita melakukan renungan lebih dalam, sehingga kita akan sampai pada titik pemahaman tentang apa itu yang dianggap benar. Ada yang disebut kebenaran subjektif dan kebenaran objektif. Contoh sederhanya demikian: A berpamitan kepada B besok pagi jam 8 akan pergi ke Jakarta. Namun ternyata jam 7 pagi A kecelakaan ditabrak motor sehingga harus di rawat di Rumah Sakit. C bertanya kepada B pada jam 9, "Di mana A?" Kemudian B menjawab, "A di Jakarta".
Dalam contoh di atas, kita tidak bisa menyebut B berbohong dan kemudian menyalahkannya. Karena kebenaran yang diketahui dan diyakini B berdasarkan informasi dari A adalah memang demikian. Kebenaran yang dimiliki B merupakan kebenaran subjektif. Sementara kenyataan bahwa A ada di rumah sakit, itu adalah kebenaran objektif. Terserah orang akan berpikir dan mengatakan apa, A tetap saja secara objektif ada di rumah sakit.
Kebenaran Subjektif adalah informasi/fakta yang diketahui atau diyakini sebagai kebenaran oleh seseorang. Sementara kebenaran Objektif adalah kenyataan rill yang terjadi, atau dengan kata lain, kebenaran objektif adalah "peristiwa itu sendiri". Gelas pecah adalah kebenaran objektif, tapi pengetahuan akan gelas pecah oleh seseorang itu adalah kebenaran subjektif. Tuhan adalah kebenaran objektif, sementara iman adalah subjektif. Jadi, manusia itu tidak akan pernah sampai pada kebenaran objektif. Manusia hanya bisa berusaha mendekati dan menafsirkan kebenaran objektif itu berdasarkan kemampuan subjektifitasnya.
Kembali kepada masalah informasi. Ketika kita sudah memahami tentang kebenaran objektif dan subjektif maka kita akan menemukan titik terang. Dalam Qur'an Al Hujurat ayat 6 Allah menunjukkan jalan, dengan tegas dinyatakan "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya (yang sebenarnya), yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." "Orang Fasik" itu bisa berarti apa saja, bisa koran, bisa TV, bisa Radio, bisa media internet dan sebagainya (silahkan kalau ada yang tidak setuju), sehingga kita harus bersikap hati-hati, jangan mudah menuduh dan menghakimi orang lain dengan informasi yang tidak kita ketahui persis kebenarannya. Jika sudah berhati-hati, baru bismillah, semoga itulah yang benar-benar kebenaran.
Jaman sekarang memang serba sulit. Di tengah kita semakin krisis rasa percaya, justru semakin dijejali dengan berbagai informasi yang tidak jelas. Dan saya tidak ingin menambah berat hidup anda. Meski ini bukan hoax, tapi saya tidak memaksa anda untuk percaya! (Syarif_Enha@TS.158Yk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H