Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Pura-pura Toleransi

Diperbarui: 5 Mei 2020   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"bisa tolong dikecilkan suara TV-nya, saya mau shalat." Kata kawan saya yang dulu pernah dating ke rumah kontrakan. "memangnya kenapa, shalat kok masih terganggu dengan TV. Shalat ya shalat sajalah, kok ganggu orang lain." Usil saya kambuh. Tapi tetap saja saya kecilkan suara TV itu.

Kondisi demikian sering kita hadapi. Alangkah indahnya, ketika ada orang yang akan shalat, mereka tanpa meminta perhatian apapun, kemudian kawan-kawan di sekitarnya menyesuaikan diri dengan tidak berisik dan sebagainya. Toleransi itu datang dari dalam, bukan atas permohonan dan bahkan instruksi dari luar. Orang yang tidak melanggar hukum karena takut pada polisi belum bisa disebut sadar hukum, namun paru patuh hukum. Orang yang baru mengormati orang lain karena diintimidasi, bukan penghormatan namanya namun pura-pura.

Peratanyaannya sederhana, apakah anda suka pada orang yang pura-pura hormat kepada anda, padahal dalam hatinya mengumpat setengah mati. Jika jawabannya tidak masalah, anda memiliki bakat untuk menjadi diktator. Namun jika jawabannya tidak, maka mari kita berproses menumbuhkan saling pengertian dan saling menghormati yang benar-benar berasal dari dalam. Pernghormatan yang berbasis pada kesadaran akan kenyataan hidup bersama dan berdampingan, saling menolong dan membutuhkan.

Pada bulan Ramadhan, issu toleransi dan penghormatan bulan ramadhan selalu saja asik dibicarakan. Perakara bulan Ramadhan adalah bulan mulia jelas tidak diragukan lagi, tapi ingat, itu bagi umat Islam saja. Bagi umat agama lain, bulan ramadhan sama saja bulan-bulan lain, bahkan mereka tidak mengenal apa itu ramadhan. Jadi yang sepatutnya member penghormatan kepada bulan ramadhan ya jelas umat Islam. Kewajiban bagi umat lain bukan menghormati bulan ramadhan, namun menghormati umat Islam yang memuliakan bulan Ramadhan. Jadi jelas konteknya masing-masing.

Namun, ketika menteri Agama menghimbau kepada ummat Islam agar tidak terlalu sensitive pada etalase warung makan yang tetap buka di bulan Ramadhan, memang ada sesuatu yang janggal. Sebagai seorang pejabat publik, menteri agama memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengarahkan agar tumbuh dan berkembang semangat toleransi dalam masyarakat. Bukan mengarahkan pada permakluman ketika ada sikap-sikap cuek dan tidak perduli pada aktivitas ummat. Sebagai seorang pejabat public, menteri agama wajib menghimbau agar semua ummat beragama saling menghormati dan bertoleransi atas akatifitas keagamaan masing-masing. Sehingga dihrapkan akan muncul keharmonisan pada ummat yang beragam dan meminimalisir konflik yang potensial terjadi.

Namun karena menteri agama juga seorang ulama Islam, maka bolehlah, dalam kapasitasnya sebagai bagian ummat Islam dia mengajak kepada jamaahnya untuk menahan diri meski orang lain di luar Islam tidak memberikan sikap toleransi yang diharapkan. Karena memang, toleransi itu mestinya hadir dari dalam, kita ummat Islam tidak membutuhkan kepura-puraan. Dengan demikian, konteksnya akan menjadi jelas.

Tidak masalah warung makan buka di siang hari di bulan Ramadhan, karena kenyataannya tidak semua orang Indonesia berpuasa. Namun jika seorang pemimpin menghimbau agar yang puasa menghormati yang tidak puasa, jelas itu tidak tepat. Tapi jika kalimat tersebut disampaikan oleh perwakilan kelompok yang berpuasa, itu adalah pernyataan yang berasal dari wujud kemuliaan jiwa.

Bicara membutuhkan konteks yang tepat. Dari siapa dalam hal apa dan kepada siapa kalimat itu disampaikan akan menentukan makna yang ditangkap. Bicaralah, tapi yang cerdas! [Syarif_Enha@Nitikan, 22 Juli 2015]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline