Di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota dan segala jenis persaingannya, ada seorang anak muda yang kembali dari perantauan. Dia kembali dengan kesuksesan besar dalam segi materi tentunya, karena sekarang dia telah menjadi seorang pejabat di sebuah BUMN. Ketika pulang dia membawa serta keluarganya dengan mengendarai mobil yang banyak ditemui di kota, namun begitu mewah ketika mobil tersebut melewati jalan berbatu di tengah hamparan sawah di bawah tatapan kagum mata para petani yang tengah menggarap sawahnya.
Meski hal itu bukan bentuk pamer, namun kedatangannya yang jelas berbeda dengan kebanyakan orang kampung tak ayal menjadi perbincangan yang hangat. Dari yang positif penuh pujian sampai yang negatif penuh sindiran dan curiga. Namun dia sebagai anak asli desa tidak terlalu ambil pusing. Untuk merayakan kepulangannya dia menghadirkan kesenian wayang kulit yang sejak kecil digandrunginya. Penontonnya berjubel, semua gembira serta bangga. Merasa desa terpencil mereka ternyata juga memiliki potensi melahirkan orang sukses.
Namun sebagian kelompok orang yang lain, resah menunggu-nunggu apa yang akan terjadi setelah pegelaran wayang itu. Mereka yakin bahwa orang sukses itu telah membeli kesuksesan dirinya dengan penderitaan sanak saudaranya. Dahulu setelah dia pertama kali berangkat, adik bungsunya meninggal. Dua tahun kemudian, saat dia pulang kampung tetangganya sakit-sakitan, dan begitu banyak peristiwa dan kejadian yang disangkutkan dengan kesuksesannya, dan begitu pagelaran wayang kulit usai, mereka resah menunggu-nunggu, giliran siapa akan menjadi korban/tumbal?
Sebagai orang kampung, saya bisa memaklumi peristiwa semacam itu. Dunia desa yang miskin informasi dari luar, membuat setiap peristiwa sekecil apapun bisa menjadi bahan perbincangan yang kemudian tidak disadari menjadi seolah peristiwa yang begitu luar biasa. Setiap orang sah saja untuk memberikan pendapat dan detail peristiwa tambahan sebagai bumbu penyedap rasa suasana.
Apakah berarti di kampung perkotaan hal demikian tidak terjadi? Jangan salah. Desas desus di mana-mana selalu terjadi. Hal itu bukan konsumsi orang udik saja. Bahkan seorang politikus paling modern saja bisa saja menikmati desas desus.
Desas-desus menjadi menarik karena belum jelas kebenarannya. Ketika masih bersifat asumsi, ia menggelinding begitu hebat dan menjadi pusat perhatian, tetapi ketika fakta terungkap, baru orang sadar bahwa sesuatu itu ternyata tidak seheboh yang dibicarakan. Sudah menjadi sifat dasarnya, bahwa suara itu lebih besar daripada kenyataannya.
Besarnya desas desus juga didukung oleh kemalasan orang untuk melakukan konfirmasi kepada sumber utama. Selain itu juga karena ketidaksabaran orang untuk menunggu informasi yang sebenarnya. Ditambah lagi hasrat orang untuk senang berbagi yang tidak mengurangi isi dompet, alias berbagi asumsi. Jadilah subur itu desas-desus di setiap pertemuan antar manusia malas dan tidak sabaran.
Orang picik tertarik untuk selalu membicarakan orang, orang normal tertarik untuk membicarakan peristiwa, dan orang besar, melampauinya dengan perbincangan tentang ide dan gagasan. Pilihan ada pada masing-masing kita. [Syarif_Enha@Nitikan 1 Pebruari 2016]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H