Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Hari Bumi: Antroposentris Vs Kekhalifahan

Diperbarui: 22 April 2020   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kerusakan di muka bumi akan semakin cepat dan terus terjadi sampai masing-masing kita mau berkata 'tidak' pada hasrat dan keinginan kita sendiri."

Dalam pandangan antroposentris, manusia adalah pusat kepentingan kehidupan. Bumi dan segala perangkat kehidupan di semesta adalah tercipta untuk kepentingan manusia. Dengan demikian, manusia mengklaim memiliki wewenang untuk mengeksplorasi alam.

Padangan antroposentris ini pada prakteknya dituduh sebagai biang kerusakan lingkungan hidup. Kok bisa begitu, karena manusia sering lupa, bahwa wewenang itu bukan berarti bisa berbuat suka-suka. Seringkali kelepasan sehingga offside. Bukan sekedar mengeksplorasi alam, tetapi juga mengabaikan efek eksplorasi itu. Kan boleh-boleh saja. Bukankah alam memang untuk dieksplorasi?

Pandangan antroposentris itu perlu didampingi dengan norma etik atau sejenisnya. Sehingga penggunaan perspektif ini, tidak berimbas dari kerusakan semesta itu sendiri. Jika tidak, maka kita seperti sedang merencanakan kehancuran diri sendiri.

Sebagai penyeimbang, ada pandangan yang dikembangkan yaitu ekosentris atau biosentris. Bahwa ada hak lingkungan dan semesta yang harus ditunaikan oleh manusia, sehingga ada keseimbangan. Pandangan ini berpijak bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan dan semesta. Sudah semestinya, yang menjadi orientasi adalah terjaganya alam agar segala kehidupan yang ada di atasnya baik flora maupun faunanya tetap lestari.

Kita itu sering bersikap ekstreem. Pandangan antroposentris lahir karena menuduh manusia suka-suka memperlakukan alam. Begitu pula, tawaran ekosentris atau biosentris ini seoalah manusia tidak boleh mengeksplorasi alam. Sehingga seringkali energy kita habis untuk mendamaikan cara pandang ini. Padahal, pada kenyataannya, tidak ada pandangan yang ekstreem sama sekali. Antro-biosentris barangkali. Mari kita eksplorasi alam secara terukur dan aman.

Siapa sebenarnya yang berkepentingan atas lingkungan, bumi dan semesta? Jawabannya tentu kita semua. Maka penting untuk membangun perspektif bersama. Mulai dari pengambil kebijakan, aparat penegak hukum dan masyarakat secara luas. Tetapi kemudian negara memiliki tanggungjawab terbesar, karena dia dilekati kekuasaan. Sementara masyarakat harus dipandang sebagai penyeimbang.

Terakhir, apa hubungan diskusi kita tentang semesta dengan Tuhan? Saya ingin menyampaikan sebuah pertanyaan, apakah cukup pembahasan semesta tidak melibatkan Tuhan? Jangan-jangan, selama ini kita ruwet biacara soal lingkungan, karena kita tidak pernah melibatkan Tuhan dalam pengambilan sikap dan keputusan kita terhadap semesta. Bagaimana caranya melibatkan Tuhan?

Tentu Tuhan tidak bisa diundang menjadi bagian peserta rapat. Tetapi bukankah Tuhan telah menurunkan syariatnya melalui agama? Bukankah manusia sudah ditetapkan sebagai khalifah. Ia adalah makhluq utama dengan perangkat semesta. Kewajiban yang dilekatkan kepadanya adalah eksplorasi diri menjadi sosok Ulul Albab, dimana salah satu ukurannya adalah kesadaran keseimbangan dan keselamatan. Dengan demikian, lingkungan, bumi, dan semesta menjadi tanggungjawab ilahiyah manusia. Kita semua.

[Syarif_Enha@Sorogenen 23, 22 April 2020]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline