Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Balas Dendam

Diperbarui: 18 April 2020   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam konsep hukum kodrat, setiap manusia memiliki hak kebebasan untuk berbuat apa saja dalam kehidupannya. Hak tersebut bisa karena berasal dari kedirian manusia yang dimilikinya yang merupakan anugerah dari Tuhan. Selain itu, hukum kodrat juga memberikan batasan bahwa setiap manusia bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya. Sehingga sudah menjadi sebuah kelaziman alam, bahwa setiap pelanggaran atas hukum yang berjalan, akan mendatangkan balasan yang semestinya sesuai dengan ukuran objektif yang dilanggar.

Besaran nilai atas suatu perbuatan, tidak selalu ekuivalen dengan beban sanksi yang diterima. Misalkan saja, perbuatan seseorang yang begitu sederhana, mengangkat tuas pintu air bendungan. Tindakan yang siapapun bisa melakukannya tanpa kesulitan, namun karena tanpa perhitungan, maka bisa menyebabkan banjir bandang yang dahsyat sehingga menimbulkan banyak korban nyawa maupun harta benda.

Dalam konteks balas dendam, kita akan berhadapan pada kenyataan bahwa manusia memiliki hasrat atau naluri keseimbangan. Sebuah istilah yang dirasa kurang seimbang adalah pembalasan lebih kejam dari perbuatan. Misalkan, jika seorang mati dibunuh, maka ada hak yang melekat pada keluarga korban untuk melakukan pembalasan secara setimpal, yaitu balas membunuh. Namun pada dasarnya korban dan pelaku tidak berada kondisi yang sejajar ketika pelaku telah berbuat jahat dan korban telah menderita.

Korban tidak pernah berharap akan mendapatkan derita atau kebinasaan, pelakulah yang telah memaksa korban merasakan derita, sehingga sudah sewajarnya dia memiliki hak untuk menuntut balik dari apa yang telah diterimanya dalam rangka untuk menyeimbangkan kembali.

Ini bukan persoalan matematis, dimana keseimbangan berarti angka yang sama, dan kejahatan berarti pengurangan, sehingga usaha balas dendam dimaknai sebagai penambahan point sampai pada angka semula. Tidak. Tidak ada yang mau disakiti, dan para korban dipaksa untuk itu. Bagaimana dia akan pulih? Cukupkah dengan pemberian rasa sakit yang seimbang, tentu tidak. Harus ada pelampiasan tambahan, dimana point itulah tempat rasa menderita itu diterima. Sehingga ketika dari angka sepuluh dikurangi menjadi tujuh, orang tidak akan menuntut tiga untuk dikembalikan, namun sudah sewajarnya dia menuntut lima. Kenapa demikian, karena ada bayaran yang tidak terukur dengan angka.

Itulah konteks balasan dalam kenyataannya. Orang akan menuntut lebih atas apa yang mereka terima. Karena nilai perbuatan jahat itu, tidak akan sebanding dengan nilai tindakan yang berbasis pada kebaikan. Penjahat, harus dibalas dengan kejahatan. Itu kalau mau seimbang.

Tapi kita hidup tidak bersifat matematis dan hitam putih. Banyak teori yang dibangun dan digagas. Tidak ada orang lahir menginginkan dirinya menjadi penjahat. Tapi situasi dan kondisi tertentu menjadikan seseorang terbentuk dan suka tidak suka menjadi penjahat. Bahkan masyarakat sendiri yang berperan tidak langsung membentuk seseorang menjadi penjahat. Jika sudah demikian, manusia pada hakekatnya tidak memiliki kemerdekaan mutlak.

Ketika ada penjahat yang merugikan apakah adil jika dia harus secara mandiri menderita balasan. Tidakkah ada sistem pertanggungjawaban masyarakat atas kelalaiannya sampai-sampai ada penjahat yang lahir dari komunitasnya? [Syarif_Enha@Nitikan, 23 Juni 2017]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline