Lihat ke Halaman Asli

Silariang (Kawin Lari); Antara Cinta dan Restu

Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini tidak cukup untuk mewakili seluruh makna tentang Silariang serta hakikat pernikahan atas dasar cinta. 

Tulisan ini hanyalah bagian kecil dari luasnya pustaka Risalah Cinta dan Pernikahan 

Panulis : Syarifuddin Mandegar (22/02/2017). Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan baik bugis, makassar, Mandar maupun Toraja begitupun juga dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Namun Silariang adalah bahasa bugis yang memiliki arti kawin lari dalam terminologi bahasa Indonesia.  Perilaku Silariang atau Kawin Lari sudah lazim terjadi dikenal di berbagai suku dan etnis yang di Indonesia. Namun yang membedakan tergantung sanksi adat masing-masing suku. Tentu saja Penulis tidak akan membincangkan gramatical Silariang melainkan memaknai kata silariang dalam terminologi umum yakni Kawin Lari.

Terlepas dari histori Silariang atau (kawin lari) dimana Silariang akan selalu bersinggungan dengan budaya dan adat istiadat setiap suku. Nilai-nilai budaya pada suku manapun di Negeri ini akan selalu menukik kedalam identitas pernikahan kapan dan dimanapun dilangsungkan. Pada suku Bugis-Makassar tradisi Uang Panai telah menjadi bagian integral untuk melangsungkan pernikahan kedua insan yang saling mencintai, namun akibat Uang Panai terkadang berujung pada jalan pintas yakni Silariang (kawin lari). 

Mahalnya Uang Panai mungkin bisa ditawar tapi hubungan asmara kedua insan yang telah berikrar dalam ikatan cintanya untuk membina rumah tangga atas legitimasi suci dari Pernikahan juga tak kalah pentingnya.  Namun terkadang Jalinan kasih itu harus menelan pil pahit akibat restu kedua orang tua yang mereka harapkan tidak terijabah hanya karna perbedaan kasta atau status sosial disertai uang panai melambung tinggi. Akibatnya,  mimpi-mimpi akan ikatan rumah tangga yang indah  harus sirna oleh ditangan sang pemberi restu. Perempuan mana yang sanggup berkutik saat diperhadapkan pada dua pilihan antara kehormatan orang tua dengan mempertahankan serangkaian cintanya...? lantas, Apakah Silariang harus menjadi keputusan akhir sebagai jawaban atas asa cinta yang tidak direstui..? sementara silariang dimata masyarakat adalah aib sosial yang akan menjatuhkan martabat serta kehormatan tidak hanya laki-laki dan perempuan namun kohormatan keluarga pun ikut ternodai.   

Melegitimasi ikatan pernikahan dengan cara Silariang (kawin Lari) dengan dalih cinta memang bukanlah perilaku yang patut diacungi jempol tetapi pada sisi lain, jalinan kabatinan kedua insan atas dasar cinta adalah satu hal yang tidak bisa dipandang remah sebab manusia pada hakikatnya memiliki fitrah untuk saling mencintai. Bukankah penyebab Silariang (kawin) itu tidak semata-mata karena perempuan yang dicintai itu hamil sebelum menikah sehingga untuk menutupi aibnya memaksa laki-laki untuk nekat melakukan kawin lari. 

Pada aspek lain, Silariang juga kadang disebabkan karena orang tua baik laki-laki maupun perempuan misalnya perempuannya dari keturunan bangsawan, berasal dari keluarga terpandang, anak seroang pejabat sementara keluarga laki-laki hanya dari keluarga yang strata sosialnya tidak lain hanya sebagai hamba Allah di muka bumi tidak lebih dari itu, sehingga faktor itu pula salah satu penyebab Silariang, apatah lagi  Uang Panai terbilang cukup mahal dengan dalih gengsi sosial.    

Lantas siapa yang salah atas semua itu...?

bukan soal siapa yang salah sebab seburuk apapun perbuatan seorang anak, kedua orang tuanya tidak akan tega membiarkan anaknya terlantar. Bukankah kata maaf selalu menjadi kesimpulan akhir atas penyesalan setiap episode perbuatan salah yang dilakukan oleh anak..? Permohonan maaf memang tidak semudah untuk menghapus jejak Silariang (kawin lari)  di mata keluarga dan masyarakat tetapi ada baiknya mengembalikan keharmonisan  keluarga kepada titahnya yang sebenarnya yakni pernikahan yang tidak ternodai oleh Silariang. 

Karena itulah dalam budaya masyarakat bugis-makassar dimana jejak-jejak Silariang (kawin lari) selalu mengakhiri episodenya dalam sebuah musyawarah besar antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan dikenal dengan kata Abbaji, yakni sebuah usaha kedua kubu keluarga untuk menempuh jalan damai. Abbaji dipadang sebagai jalan tengah untuk meredam kebencian dan amarah keluarga terhadap pelaku Silariang dengan membayar mahal  kebencian dan amarah mereka dengan saling menghormati, saling menyayangi antar keluarga termasuk bagi kedua insan yang silariang. Bahkan tidak sedikit dari rumah tangga hasil silariang yang hidup rukun dan bahagia dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Aib tetaplah aib tapi bukan berarti aib orang Silariang selalu menjadi catatan buruk sepanjang hidup pelaku silariang hingga menutup jalan bagi mereka untuk memulai kehidupan baru setelah menempuh jalan Abbaji. Cukuplah Silariang menjadi catatan buruk bagi semua orang untuk tidak terjatuh pada lubang yang sama karena melanggar adat dan budaya atas aibnya Silariang bukan karena pandangan kita atas budaya itu bertentangan dengan nilai akademik budaya yang kita pahami tetapi bertoleransi atas pelarangan masyarakat terhadap perilaku Silariang tidak akan menjatuhkan prestasi akademik kita. Artinya menundukkan ego itu juga bagian dari kearifan dalam berpengetahuan dimana orang-orang yang bepengetahuan pada dirinya tercermin budaya kearifan dan kebijaksanaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline