Tren gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di perusahaan startup dan perusahaan besar global diperkirakan masih berlanjut, termasuk di Indonesia. Akhir tahun 2022 lalu, GoTo mem-PHK 1.300 pegawai. Sebelumnya PHK juga terjadi di Koinworks, Binar Academy, Xendit, Zenius, LinkAja, SiCepat dan Ruangguru, startup bidang pendidikan.
Menurut kabar yang beredar, tahun 2023 ini, gelombang PHK pun masih akan berlanjut. Akibat kondisi ekonomi global yang tidak baik-baik saja. Sehingga perusahaan harus mencari "jalan keluar" untuk mempertahankan bisnisnya. Manajemen perusahaan "terpaksa" mengambil keputusan PHK. Karena efisiensi karyawan atau restrukturisasi SDM memang menjadi alasan yang paling mudah untuk ditempuh.
Sebagai konsekuensi bisnis, mungkin PHK bisa jadi sulit dihindari. Namun yang terpenting, PHK harus dilakukan sesuai regulasi yang berlaku. Ada proses yang harus ditempuh perusahaan saat berniat mem-PHK pekerja. Dan yang paling penting adalah membayar uang pesangon atau kompensasi pascakerja kepada pekerja. Patut dicatat, pada Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja, Pasal 156 ayat (1) ditegaskan "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima". Adapun acuan besarannya terdiri dari: a) uang pesangon (ayat 2), b) uang penghargaan masa kerja (UPMK) (ayat 3), dan c) uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan dan biaya ongkos pekerja (ayat 4). Setidaknya, ada 17 alasan terjadinya PHK, baik akibat pensiun, meninggal dunia, atau efisiensi perusahaan.
Oleh karena itu, siapapun perusahaan atau pemberi kerja yang akan mem-PHK pekerja harus memperhitungkan pembayaran kompensasi pascakerja (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak) sebagaimana diatur dalam Pasal 40 di PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Artinya, PHK pekerja tidak masalah asal dilakukan dengan cara-cara yang elegan dan tetap mematuhi regulasi yang berlaku, khususnya pembayaran kompensasi pascakerja.
Masalahnya kini, masih banyak perusahaan atau pemberi kerja yang tidak siap saat harus membayarkan pesangon pekerja. Apalagi saat terjadi PHK, karena kondisi bisnis dalam keadaan terpuruk. Selain itu, faktanya masih banyak perusahaan yang "belum mau" mendanakan sejak dini dana kompensasi pascakerja atau pesangon. Kewajiban kompensasi pascakerja hanya tercatat di laporan keuangan, sebatas dibukukan. Tapi tidak dialokasikan secara terpisah dari keuangan perusahaan. Banyak perusahaan yang menganut prinsip "pay as you go - PAYG", dana kompensasi pascakerja "disediakan" saat diperlukan. Maka wajar, hanya 7% perusahaan yang patuh terhadap pembayaran kompensasi pescakerja atau pesangon PHK sesuai regulasi. Sementara 93% perusahaan tidak membayar dana kompensasi pascakerja atau pesangon sesuai aturan yang berlaku.
Maka sebagai solusi, perusahaan diimbau untuk mulai mendanakan kompensasi pascakerja secara "fully funded". Sebuah sistem pendanaan kompensasi pascakerja, baik untuk pekerja yang pensiun, meninggal dunia atau di-PHK melalui suatu program. Karena cepat atau lambat, kompensasi pascakerja terhadap pekerja pasti dibayarkan. Di samping perusahaan memiliki ketersediaan dana kompensasi pascakerja bila suatu saat harus dibayarkan karena alokasi dananya terpisah dari keuangan perusahaan.
Sebagai upaya menyiapkan pendanaan kompensasi pascakerja, salah satunya dapat dilakukan melalui Program Pensiun untuk Dana Kompensasi Pascakerja (PPDKP) yang diselenggarakan DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) yang ada di pasaran saat ini. PPDKP (dulu disebut PPUKP -- Progran Pensiun untuk Kompensasi Pesangon) bertujuan untuk membantu perusahaan dalam pendanaan dan pembayaran kompensasi pascakerja pekerjanya. Entah atas sebab pensiun, meninggal dunia, atau PHK. Setidaknya, ada 3 (tiga) keuntungan perusahaan bila memiliki DPLK PPDKP, yaitu 1) program bersifat "pooled fund" atau diadministrasikan atas nama perusahaan, 2) adanya pendaaan yang pasti untuk pembayaran kompensasi pascakerja. 3) didanakan secara terpisah sehingga tidak mengganggu cash flow perusahaan, 4) manfaat dapat dibayarkan secara sekaligus (lumpsum), dan 5) adanya fasilitas perpajakan karena dianggap sebagai biaya perusahaan.
Patut diketahui, iuran perusahaan untuk dana kompensasi pascakerja di DPLK dianggap sebagai biaya. Maka sesuai UU No. 7/2021 tetang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pasal 6 ayat 1 (c) disebutkan "Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya".
Manariknya dari PPDKP di DPLK, sesuai dengan PP No. 35/2021 pada Pasal 58 ayat (1) dinyatakan "Pengusaha yang mengikutsertakan Pekerja/Buruh dalam program pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun, iuran yang dibayar oleh Pengusaha dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Pengusaha atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang pisah akibat Pemutusan Hubungan Kerja". Jika perhitungan manfaat dari program pensiun lebih kecil daripada uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang pisah maka selisihnya dibayar oleh Pengusaha (ayat 2) dan pelaksanaan ketentuan ini diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (ayat 3).