Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Taman Bacaan Itu Urusan Aku dan Tuhan

Diperbarui: 21 September 2022   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Ketika ada yang bertanya, untuk apa berkiprah di taman bacaan?

Toh, anak-anak itu bukan anak kita. Bahkan daerah itu pun bukan tanah kelahiran kita. Buang-buang waktu, tenaga, dan pikiran saja. Zaman sudah serba digital, kok kita mau-maunya berkutat dengan buku-buku yang konvensional. Biarkan saja mereka mau jadi apa. Bukan urusan kita, begitu kata seorang kawan. Menarik untuk dibahas.

Cara berpikir seperti itu hanya contoh. Tentu, masih banyak lagi. Orang-orang yang individualis, dan merasa urusan membaca buku atau taman bacaan hanya buang-buang waktu. Tidak salah, tapi mungkin mereka ada di jajaran "orang-orang yang belum kelar dengan dirinya sendiri". Sehingga perbuatan baik dan kebaikan itu dibatasi oleh pikirannya sendiri. Oarng-orang yang kian lupa. Bahwa hidup itu disuruh berbuat kebaikan tanpa batas, tanpa pamrih. Bahkan diminta untuk "khoirunnass anafa uhum linnass". Sebaik-baik manusia itu yang paling bermanaat untuk orang lain.

Oke, jadi untuk apa berkiprah di taman bacaan? Sederhananya, saya menjawab. Bahwa taman bacaan itu urusan aku dan Tuhan. Bukan sekedar menyediakan akses bacaan. Bukan pula sebatas membangun kegemaran membaca. Tapi urusan tentang "warisan" apa yang mau saya tinggalkan saat pergi dari dunia nanti. Urusan ibadah dan amal soleh, berarti urusan seorang hamba dengan Tuhan-nya. Saya selalu tegaskan, bila ada orang ibadah dengan cara membangun masjid atau gereja. Maka, saya ibadah dengan membangun taman bacaan. Sesederhana itulah, alasan saya berkiprah di taman bacaan.

Entah kenapa, kok makin banyak orang mengkhawatirkan tentang hidup di dunia. Terlalu takut untuk berbuat baik kepada orang lain. Lalu membatasi pikiran dan perbuatan baik-nya sendiri. Seolah-olah, amal ibadah hanya sebatas kesalehan ritual. Lalu, kesalehan sosial nanti saja dulu. Tapi saat bicara ke mana-mana, bilangnya kesalehan itu harus paripurna. Hablumminallah, hablumminannass. 

 

Hari ini, di kiri kanan, main banyak orang yang khawatir dan takut. Khawatir siapa yang bakal jadi presiden nanti. Takut nggak makan besok. Bingung gimana nanti di hari tua. Bahkan berkeluh-kesah karena gaji tidak cukup untuk biaya hidup. Lalu jadi benci karena BBM naik. Maka jadilah tudingan, hujatan, dan kebencian bertabur di dalam dirinya. Segala rupa dipikirkan, segala hal diberi komentar. Akhirnya, pusing sendiri frustrasi sendiri. Lalu berdalih, boro-boro mau berbuat baik untuk orang lain? Ngurusin hidup sendiri saja belum kelar-kelar. Begitulah ceritanya.

Terlalu khawatir, merasa takut, bahkan berpikir yang salah. Lalu, orang lain "dilarang" berbuat baik. Karena hidupnya merasa begitu-begitu saja. Atau begini-begini saja. Hampir putus asa. Ujungnya dalam hati ia berdoa, "Ya Allah, aku sudah ikhtiar tapi mengapa Engkau tidak adil kepadaku?". Bisa-bisanya berdoa saja masih sempat menyalahkan Tuhan.

Kita sering lupa. Selagi hidup di dunia, masalah itu selalu ada. Selesai satu, datang lagi yang lain. Pasang surut, persis seperti keimanan seseorang. Ada kadarnya, ada waktunya pula. Tinggal bagaimana kita menyikapinya? Asal spirit dan perilaku untuk berbuat baik harus tetap dipelihara. Memangnya, siapa yang bilang. Bila ada masalah, terus tidak boleh berbuat baik? Jangan pernah menyalahkan Tuhan, bila masalah selalu datang silih berganti.

Jadi, saat ditanya lagi soal kenapa berkiprah di taman bacaan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline