Jagat media sosial ramai soal penundaan pemilu. Netizen versi grup whatsapp pun ada yang julid ada yang rileks saja. Giliran Ukraina di-invasi Rusia, ehh media sosial hanya bisa terkesima. Tidak ada yang bisa diperbuat dan tidak ada pula yang mau berangkat bela Ukraina. JHT (Jaminan Hari Tua) akhirnya bisa dicairkan sebelum usia 56 tahun, maka sorak gembira-lah media sosial. Begitulah realitas di langit media sosial. Beragam pendapat dan versi berseliweran. Dan itu sah-sah saja, boleh-boleh saja.
Selagi di dunia, apa pun pasti ada pro-kontra. Ada yang setuju ada yang tidak setuju. Bahkan ada yang benci ada yang cinta. Tergantung mau dilihat dari apa? Tapi itu semua jadi bukti, bahwa dunia itu penuh ketidak-seimbangan. Terlalu dikuasai akal, terlalu cinta dunia. Hingga terlalu mudah menerang, gampang menyalahkan. Lagi-lagi akibat terlalu dikuasai akal, terlalu cinta dunia.
Di media sosial, segala rupa dikomentarin. Katanya bila salah layak dikritisi. Jadi, banyak omong banyak cingcong. Seolah-seolah tahu banyak akan segala hal. Percaya pada akal duniawi tapi dibungkus dengan jubah agama. Terus bila orang lain salah, apa kita pasti benar? Belum tentu pastinya.
Seperti ada yang hilang dalam hidup manusia. Apa yang hilang?
Kesadaran untuk hidup berdampingan, hidup dalam keseimbangan. Bersanding satu sama lainnya dalam ikatan hati nurani bukan akal semata. Untuk melihat realitas sebagai hikmah. Agar tidak nyinyir melulu. Nyolot hingga bertahan dalam pikiran negatif yang dibangunnya sendiri. Hingga mencari-cari kesalahan orang lain. Lalu, lupa pada salah dirinya sendiri. Hidupnya tidak seimbang.
Katanya hidup itu harus seimbang. Antara dunia dan akhirat, seimbang ke atas dan ke samping. Antara yang salah dan benar. Seimbang antara hak dan kewajiban. Seimbang dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Untuk urusan apa pun, agar tetap terjaga keseimbangan. Untuk apa mengumpulkan harta bila tidak mau berbagi? Untuk apa berjuang keras di dunia tanpa mau ikhtiar untuk akhirat?
Semangat hidup berdampingan itulah yang jadi spirit pegiat literasi di taman bacaan. Seperi yang dijalani TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Saat angka putus sekolah tinggi, maka taman bacaan mengambil peran untuk menyediakan tempat membaca. Agar ada kesadaran melanjutkan sekolah. Di era digital, jangan ada lagi anak-anak yang putus sekolah. Apa pun alasannya. Pegiat literasi yang bersanding dengan kaum buta aksara, anak-anak yatim, kaum jompo, anak-anak difabel, hingga ibu-ibu yang terjerat rentenir. Taman bacaan yang memainkan peran untuk hidup berdampingan dengan realitas masyarakat, Untuk memberi solusi atas problematika sosial yang melanda. Bahkan di TBM Lentera Pustaka, taman bacaan tidak hanya soal tempat membaca buku. Tapi hadirnya orang dewasa untuk mendampingi anak-anak dan masyarakat untuk "keluar" dari persoalan sosial yang sudah akut, turun-temurun secara kultural. Karena sejatinya, hidup tidak melulu soal "ke atas" tapi "ke samping". Agar tercipta keseimbangan dalam hidup.
Hidup berdampingan itu bukan hanya fisik, melainkan moral. Tidak melulu soal logika tapi hati nurani. Seperti mahasiswa yang mendambakan bersanding dengan ijazah. Bukan seperti orang-orang era digital. Duduk bersebelahan tapi hanya sibuk bermain gawai satu sama lainnya. Fisiknya dekat tapi tidak saling menyapa. Akibat terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Dekat fisiknya tapi jauh hatinya.