Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Untuk Kamu, Kaum Pemaksa Isi Kepala Lupa Mendidik Akhlak

Diperbarui: 23 Januari 2022   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pribadi

Sudah biasa, bila hidup tidak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Maka siapapun, terkadang tidak bisa memaksakan sesuatu sesuai keinginannya. Sebaik apapun niat dan rencananya. Setinggi apapun cita-citanya. Karena manusia hanya bisa ikhtiar.

Tapi sayang, banyak orang menganggap keinginan yang tidak tercapai adalah akhir dari segalanya. Laku, terpuruk dan gagal berbuat untuk lebih baik. Akibat terlalu memaksa pikiran dalam hidupnya. Hingga akhirnya, harapan berbeda dengan kenyataan. Jadilah, memaksa atau dipaksa.

Hampir semua orang tua ingin anaknya berpendidikan. Kuliah S1, S2, atau S3 agar jadi orang sukses. Lulus kuliah dan bekerja, sehingga jadi cerita orang tua ke mana-mana. Bahwa si orang tua berhasil mendidik anak-anaknya. Pendidikan yang dipaksa sesuai dengan isi kepala orang tua. Jadi yang hebat anaknya atau orang tuanya ya?

Sebutlah orang tua yang "memaksa" isi kepala anaknya. Tapi sayang, lupa mendidik akhlaknya. Anak-anak sering kali "dipaksa" untuk mendapat nilai sempurna. Tapi di saat yang sama, mereka diabaikan mentalitasnya. Anak disuruh sekolah yang rajin, ikut les. Tambah lagi privat di rumah. Sementara emosional dan spiritualnya kosong. Kasihan ya anak-anak. Dipaksa menjalankan isi kepala orang tua. Agar jadi ini jadi itu.

Hidup di zaman edan. Semua serba dipaksakan. Agar dibilang berhasil atau menyaingi orang lain. Apapun bakal dilakukan orang tua. Asal anakmya mau mengikuti keinginannya dan dianggap sukaea. Pendidikan pun tidak lagi  merdeka. Belajar bukan atas "kerelaan". Tapi atas paksaan. Orang dewasa yang "memaksa" anak-anak. Sungguh bisa jadi, anak-anak itu di bawah tekanan orang tua dan guru sekalipun.

Hidup di zaman now, memang harus siap "dipaksa" atau "memaksa". Memaksakan kehendak kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit orang yang "memaksa diri". Agar dibilang hebat, dibilang keren. Bahkan dibilang kaya alias borju. Hidup dalam keterpaksaan, mungkin indah di mata mereka. Terpaksa menjadi orang lain untuk orang lain. Tidak apa adanya lagi.

Memaksa isi kepala. Pikirannya dijadikan tuhan. Padahal tidak sepenuhnya benar. Bahkan tahu pun sedikit saja. Lalu, kenapa memaksakan keyakinannya kepada orang lain? Orang lain selalu dianggap salah. Hanya dia yang paling benar. Bila tidak sama, maka akam dibenci dan dihujat habis-habisan. Semuanya harus ikut cara berpikirnya. Orang dewasa aneh. Kasih makan nggak, nguliahin nggak. Tapi maunya seperti yang dia pikirkan. Bila tidak bisa sama, kenapa memaksa untuk tidak boleh beda?

Memaksakan diri, serba terpaksa. Hidup tidak lagi berdasar kemampuan. Tapi berlandaskan kemauan. Terlalu memaksa akhirnya jadi merana. Seperti kaum jomblo yang terus memaksakan cintanya. Hingga akhirnya terluka. Mau sampai kapan memaksakan diri?


Memaksa, itulah yang terjadi di zaman now. Banyak orang bekerja keras siang malam. Untuk memperoleh uang, meraih pangkat.  Tapi di saat yang sama, mereka gagal "memaksakan diri" untuk menabung. Ekonominya pagi-sore tapi gayanya sebakul. Wajar bila idupnya "lebih besar pasak daripada tiang".

Memaksa isi kepala, lupa mendidik akhlak. Bila hidup di dunia cuma sementara, kenapa harus memaksa. Untuk apa isi kepala diperhatikan mati-matian? Rileks saja. Jangan lupa mendidik akhlak. Toh, sehebat apapun Anda, sekaya apapun kamu ujung-ujungnya berakhir di kuburan. Jadi, tidak usah memaksa. Apalagi memaksakan kehendak, memaksa orang lain untuk bertindak seperti yang Anda mau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline