Semua orang tahu, aktivitas taman bacaan bersifat sosial. Pegiat literasi pun ikhlas berbuat demi tegaknya tradisi membaca. Tempat, waktu, tenaga dan pikiran dicurahkan. Hanya untuk menjaga taman bacaan tetap eksis dan mampu bertahan hidup di tengah gempuran era digital. Sekalipun perbuatan baik, taman bacaan tidak bebas dari prasangka buruk. Selalu ada saja orang-orang yang menuduh negative. Sebut saja, ada prasangka di langut taman bacaan.
Prasangka itu nyata terjadi di taman bacaan. Orang-orang yang berburuk sangka akibat membenarkan pikiran jahatnya. Terlalu mudah menilai orang lain hanya dari penglihatannya. Bahkan hanya mendengar dari perkataan orang lain. Maka berkibarlah prasangka buruk. Alih-alih menebar perbuatan baik justru mengobarkan omongan buruk.
Langit taman bacaan sama sekali tidak bebas dari prasangka. Itu wajar dan sah-sah saja. Karena siapapun tidak dapat mengontrol orang lain. Taman bacaan dan pegiat literasi hanya bisa mengendalikan dirinya sendiri. Realitas itu pula yang dialami Taman Bacaan Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sejak berdiri tahun 2017 lalu, selalu saja dirundung prasangka buruk. Apalagi pendiri dan relawan yang mengabdi, seminggu sekali selalu datang dari Jakarta dan tempat lain yang tidak dekat dari taman bacaan. Secara rutin dilakukan tiap minggu. Hanya untuk menegakkan tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.
Setelah melihat aktivitas taman bacaan yang selalu di-update ke media sosial. Tidak sedikit orang yang membangun prasangka-nya sendiri. Berpikir buruk lalu membuat tafsiran sendiri. Tentang taman bacaan, tentang pegiat literasi. Sekalipun tidak tahu banyak, beragam prasangka buruk pun hadir di langit taman bacaan.
Orang-orang jauh dari taman bacaan pun berprasangka. Seorang pegiat media sosial yang merasa tenar pun membatin "Huh, kegiatan sosial di taman bacaan kok dipamer-pamerin. Berbuatbaik kok dipamerin". Setelah itu, seorang profesional swasta pun membatin, "Mentang-mentang punya taman bacaan, update-nya cuma itu doang. Nggak ada yang lain apa? Pencitraan kali ya". Prasangka di taman bacaan pun belum usai, seorang berpendidikan jebolan kampus, "Ahh taman bacaan mah gak ada manfaatnya. Zaman udag digital masih baca buku, kuno itu mah". Akhirnya, seorang mahasiswa pun ikut berpikir dan membatin, "Mudah-mudahan nanti, kalua gue punya kegiatan sosial gak senorak dia. Baca buku aja digede-gedein".
Prasangka di taman bacaan pun tidak berakhir di situ. Orang-orang sekitar taman bacaan yang tidak peduli dan membenci keberadaan taman bacaan pun mulai menebar fitnah, gibah. Seorang emak-emak membatin, "Mentang-mentang taman bacaan di rumahnya sendiri, sok banget tuh orang. Gue mah masa bodo sama aktivitasnya". Seorang Bapak pun ikut membatin "Lah, taman bacaan itu mah banyak duitnya. Buat apa bantuin, gak ada uangnya?".
Lalu, seorang awam yang putus sekolah pun membatin, "Ahh, anak gue mah gak bakal gue suruh ke taman bacaan, buat apa?". Dan akhirnya, seorang warga yang membenci taman bacaan pun membatin, "Gak tahu deh, ikhlas apa gak sih orang-orang di taman bacaan itu. Apa ada orang mau bantu orang lain di zaman begini".
Begitulah segudang prasangka buruk di langit taman bacaan. Pegiat literasi dan relawan yang tulus pun dituduh begini begitu. Mereka yang berprasangka lupa. Bahwa prasangka buruk tidak hanya merugikan orang lain tapi merugikan diri sendiri. Bila tidak bisa membantu atau berbuat baik, harusnya cukup diam atau tidak berprasangka. Mereka makin lupa, perbedaan antara orang baik dan orang jahat itu sederhana. Terletak di prasangkanya, baik atau buruk. Apalagi pegiat media sosial, sering gagal untuk bijak ber-media sosial. Untuk menebar kebaikan dan berpikir positif daripada menebar prasangka atas dasar kebencian dan ketidak-sukaan.
Menyikapi berbagai prasangka itu, Pendiri Taman Bacaan Lentera Pustaka pun hanya tersenyum. Sambil membatin kepada orang-orang yang penuh prasangka. Bahwa siapapun tidak akan mampu mengubah hati orang lain untuk berbaik sangka. Tapi taman bacaan bisa jadi tempat melatih diri untuk selalu berprasangka baik. Mereka yang berprasangka sama sekali tidak tahu.
Bahwa di taman bacaan, ada ratusan anak-anak yang terancam putus sekolah dan karena membaca-lah mereka bisa diselamatkan agar tetap lanjut sekolah. Di taman bacaan, ada anak-anak difabel yang jai punya tempat sosialisasi diri sementera di tempat lain dikucikan.
Ada pula anak-anak prasekolah yang punya tempat belajar calistung. Ibu-ibu yang kini terbebas dari jeratan rentenir dan utang berbunga tinggi karena ada koperasi simpan pinjam. Bahkan ada pula anak-anak yatim yang dibina dan dibeasiswai agar tetap sekolah, termasuk kaum jompo yang diberi santunan bulanan. Taman bacaan itu tempat baik, maka pasti diisi oleh orang-orang baik. Maka orang-orang jahat, pasti hanya bisa berprasangka buruk tentang taman bacaan. Sesederhana itu saja.