Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?
Mungkin, itu ungkapan yang paling cocok untuk mewakili tiap perbedaan di zaman begini. Di tengah banyaknya orang yang memaksakan kehendak atau keinginan.
Atau di antara grup-grup WA yang "berkomplot" untuk menyatakan geng-nya keren. Lalu, perilakunya hanya menyangkal orang lain. Kemudian berkembang jadi menyalahkan orang lain lalu membenci, minimal gibah. Maka jadilah perbedaan bila tidak mau disebut permusuhan. Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?
Di era politik identitas dan dinamika media sosial seperti sekarang, perbedaan kian meruncing. Atas nama perbedaan, banyak orang yang sudi "mengorbankan" pertemanan. Karena beda pilihan politik, karena beda orientasi. Itulah yang disebut "jahatnya politik". Karena mampu menafsirkan demokrasi secara sempit, lalu membenarkan pikirannya sendiri. Banyak orang lupa, bahwa politik itu siasat. Politik pun sesaat.
Hari ini, banyak orang merasa benar sendiri. Sayangnya, sambil menyalahkan orang lain. Berteriak sedang berjuang untuk kebaikan tapi sebatas retorika saja. Tinggal ditanya saja, memang siapa yang menikmati perjuangan dan kebaikan mereka? Itulah orang yang merasa benar sendiri.
Karena mereka sejatinya justru sedang frustrasi. Untuk memperjuangkan mimpi-mimpinya yang tidak terlaksana. Apalagi bila musuhnya, mereka sama sekali tidak terima untuk diperintah. Istilah kata, siapa saja boleh jadi pemimpin asal bukan musuhnya atau orang yang dibenci.
Bila sikap perbedaan yang tidak objektif itu terjadi. Maka dapat dipastikan orang itu sangat subjektif. Manusia tidak literat yang gagal menerima realitas. Fakta berbeda, sikap dan perilakaunya pun berbeda. Apa yang diomong tidak sama dengan yang dikerjakan. Lupa, bila tidak sama. Kenapa tidak boleh beda?
Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?
Itulah spirit yang dijalankan Taman Bacaan Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebaga ikhtiar untuk menjadikan masyarakat yang literat. Masyarakat yang mau membaca dan mampu menerima realitas.
Tidak usah takjub terhadap perbedaan. Sehingga gagal move on untuk menatap ke depan lebih optimis. Hingga lupa berbuat kebaikan secara konkret. Taman bacaan dan egiat literasi di mana un, harus berani mengingatkan kebenaran dan cara pandangnya sendiri. Tidak harus sama dengan orang kebanyakan. Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?