Hak asasi, bisa jadi pintu masuk semua orang untuk bebas berbicara. Bebas berceloteh apa saja. Protes soal PCR untuk bepergian. Terbebas dari banjir di musim hujan. Bahkan mau vaksin atau tidak pun dianggap hak asasi. Gaduh di media sosial, berisik di grup WA dibenarkan atas nama hak asasi. Pantas, banyak orang berjuang tanpa lelah untuk gaya hidup dan berjiwa hedonis. Terlibat hoaks dan membenarkan semua pikirannya. Semuanya atas nama "hak asasi".
Bebas bicara apa saja, memang paling enak. Apalagi ditambah embel-embel hak asasi. Karena hak asasi, harus diakui, menjadi kebebasan fundamental bagi semua orang. Tanpa memandang apapun. Atas nama rakyat dan aspirasi yang demokratis sah-sah saja. Asal deliknya hak asasi. Hak untuk hidup, hak bebas berekspresi. Hak sosial, budaya dan ekonomi semua jadi sah.
Begitulah hak asasi di pikiran kaum cendekiawan. Hak asasi menurut orang-orang pintar. Karena hak asasi dianggap melekat pada hakikat dan eksistensi tiap manusia. Maka siapa pun wajib menghormati, menjunjung tinggi, dan melindungi hak asasi siapa pun. Karena itu, hak asasi bersifat hakikat, universal,dan tidak oleh dilarang. Apa iya begitu hak asasi?
Kadang, hak asasi pun omong kosong. Seperti yang terjadi di sebuah kampung kecil di kaki Gunung Salak. Ada ratusan anak dari tiga desa yang sulit mendapat akses bacaan. Apalagi di masa pandemi Covid-19, mereka hampir kehilangan tempat belajar. Belum lagi ibu-ibu buta aksara yang tidak punya akses belajar baca-tulis. Ada pula anak difabel yang tidak mampu bersosialisasi karena "kurang diterima" di masyarakat. Anak-anak prasekolah yang sulit mencari tempat untuk belajar calistung. Belum lagi kaum ibu yang relatif tidak punya akses ekonomi yang terjebak pada rentenir, utang berbungan tinggi. Bukankah itu semua hak asasi juga?
Banyak orang lupa. Literasi pun hak asasi. Bahkan literasi, bisa jadi hak asasi yang nyaris terlupakan. Literasi dan taman bacaan justru kian terpinggirkan. Aktvitas literasi yang jarang dipedulikan bila tidak mau disebut "diabaikan". Hak asasi literasi itulah yang dipilih TBM (Taman Bacaan Masyarakat) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Bukan hanya literasi baca-tulis, berbagai aktivitas kecakapan literasi seperti finansial, digital, budaya-kewargaan selalu dijalankan sepenuh hati. Termasuk akses buku bacaan untuk anak-anak.
Bahkan kini, TBM Lentera Pustaka telah menjalankan 12 program literasi yang disesuaikan kondisi masyarakat sekitar, seperti: 1) TABA (TAman BAcaan) dengan 160 anak pembaca aktif dari 3 desa (Sukaluyu, tamansari, Sukajaya). Dengan waktu baca 3 kali seminggu, kini setiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu, 2) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 9 warga belajar buta huruf agarterbebas dari belenggu buta aksara, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak usia prasekolah, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo usia lanjut, 6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 28 ibu-ibu anggota koperasi simpan pinjam agar terhindar dari jeratan rentenir dan utang berbunga tinggi, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10) LITDIG (LITerasi DIGital) untuk mengenalkan cara internet sehat, 11) LITFIN (LITerasi FINansial), dan 12) LIDAB (LIterasi ADAb) untuk mengajarkan adab ke anak-anak seperti memberi salam, mencium tangan, berkata-kata santun, dan budaya antre.
TBM Lentera Pustaka saat ini pun terpilih 1 dari 30 TBM di Indonesia yang menggelar program "Kampung Literasi Sukaluyu" yang diinisiasi Direktorat PMPK Kemdikbudristek RI dan Forum TBM untuk wujdukan kawasan giat membaca berbasis inklusi sosial. Pada September 2021 lalu pun, Pendiri TBM Lentera Pustaka meraih "31 Wonderful People 2021" kategori pegiat literasi dan pendiri taman bacaan dari Guardian Indonesia.
Maka jangan abaikan literasi dan taman bacaan, di mana pun. Karena literasi dan taman bacaan pun hak asasi. Untuk memberi akses bacaan dan program literasi yang memberdayakan masyarakat sekitar. Bila hak asasi adalah hak hak untuk hidup, hak untuk bebas berbicara, hak diakui secara hukum. Maka literasi pun jadi hak asasi yang patut diperhatikan. Hak yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun. Literasi, sebuah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
Karena literasi dan taman bacaan pun tetap berjalan sesuai kata hati. Bukan hanya otak dan logika. Literasi hanya ingin mengingatkan. "Jika tidak mampu melihat dengan mata kepala sendiri, maka tidak perlu menggunakan mulut untuk membuktikannya". Slaam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka #KampungLiterasiSukaluyu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H