Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Mengubah Jendela Menjadi Pintu, Itulah Ciri Orang yang Literat

Diperbarui: 29 September 2021   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Hari ini, banyak orang ikut seminar literasi. Aktivitas literasi atau terjun ke gerakan literasi. Agar tercipta budaya literasi. Sehingga terwujud masyarakat yang literat. Terbentuknya orang-orang yang literat. Lalu, siapa sih orang yang disebut literat?

Ketahuilah, seseorang dapat disebut literat. Apabila memiliki kompetensi dan kecakapan dalam hidup. Orang yang berdaya dan mamu memberdayakan keadaan atas dasar kesadaran belajar, kemampuan memahami realitas, dan mampu mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku sehari-hari. 

Karena itu, orang yang disebut literat pasti memiliki 3 (tiga) ciri yang menonjol, yaitu: 1) hidupnya selalu adaptif, 2) kontibusinya selalu positif, dan 3) manfaatnya pasti solutif. Tanpa ciri-ciri itu, maka belum bisa disebut literat.

Bangsa yang literat pasti dibentuk dari masyarakat yang literat. Sedangkan masyarakat yang literat, tentu dibangun dari individu-individu yang literat. Di era digital dan revolusi industri seperti sekarang, individu yang literat pastinya memiliki focus pada 3 (tiga) diskursus literasi yang penting, yaitu: 1) kemampuan literasi dasar, 2) memiliki kompetensi, dan 3) mempunyai karakter yang berkualita.

Rinciannya begini. Literasi dasar bertumpu pada 6 (enam) kemampuan, yaitu; 1) literasi baca-tulis, 2) literasi numerasi, 3) literasi sains, 4) literasi digital, 5) literasi finansial, dan 6) literasi budaya dan kewargaan. Dengan berbekal literasi dasar itulah diharapkan seseorang mampu mencapai 4 (empat) kompetensi penting yaitu: 

1) kemampuan berpikir kritis, 2) kreativitas, 3) komunikasi, dan 4) kolaborasi. Sehingga dampak besar dari budaya literasi adalah meningkatnya kualitas karakter manusia menjadi lebih: 1) religius, 2) nasionalis, 3) mandiri, 4) gotong royong, dan 5) integritas.

Bila mekanisme literasi di atas terjadi pada diri seseorang. Maka dapat disebut literat. Manusia yang literat. Jika demikian, maka bukan omong kosong peradaban suatu bangsa akan memuncak pada budaya literasi. Tanda lahirnya tatanan masyarakat yang literat. Masyarakat yang mampu memahami realitas. Literat terjadi bila tidak ada lagi hoaks, ujaran kebencian, perilaku koruptif, dan bersiasat untuk keuntungan dirinya sendiri.

Tapi sayang, tingkat literasi di Indonesia memang belum memuaskan. Bukti paling sederhana, Litbang Kemdikbud (2019) menyebut angka rata-rata Indeks Alibaca Nasional berada di angka 37,32 yang tergolong masih rendah. Apalagi di era digital, aktivitas giat membaca dan literasi kian tergerus. Karena itu, literasi tidak dapat digenjot hanya sebatas ruang seminar atau diskusi. 

Literasi adalah perilaku atau perbuatan. Bukan sekadar wacana. Literasi membutuhkan aksi nyata, butuh kesadaran, bahkan butuh kolaborasi. Literasi pada akhrinya harus mampu memberdayakan setiap manusia dan lingkungannya.

Literasi, tentu tidak dapat terwujud bila berjalan sendirian. Semua pihak, di manapun, bertanggung jawab atas tercipta atau tidaknya budaya literasi di masyarakat. Itulah yang disebut "literasi untuk semua". Bukan semua untuk literasi. Karena sejatinya, tujuan besar dari literasi adalah "mengubah JENDELA menjadi PINTU". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline