Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Tentang Kata "Picek" dan Pentingnya Kesantunan Berbahasa

Diperbarui: 31 Agustus 2021   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pribadi

Tiba-tiba video lama sebutan "picek" Bupati Banjarnegara viral lagi. Entah kenapa, masih banyak orang yang terlalu mudah mengumbar kontroversial lalu jadi polemik. Bahasa-bahasa yang tidak pantas pun jadi "biang" keributan yang tidak produktif. Mau sampai kapan bangsa Indonesia begini?

Agak prihatin, mencermati perilaku orang-orang yang gemar menimbulkan polemik. Kata-kata atau bahasa yang kontroversial diangkat ke public lalu jadi kontroversial. Sementara PPKM dengan berbagai level terus berlanjut di masa pandemic Covid-19, Kian membatasi produktivitas. 

Dan bangsa Indonesi belum mampu "keluar" dari kondisi pandemi untuk segera pulih dan normal. Sementara di Inggris sana, premier league telah berputar dan penonton-nya membludak seakan tidak ada Covid-19.

Jadi harusnya bagaimana kita berbahasa sebagai bangsa?

Saya berpendapat hati-hatilah dalam berkata-kata dan berbahasa. Apalagi di media sosial atau di area publik. Jangan sampai karena sentimen atau celetukan yang sifatnya informal jadi menimbulkan polemik dan kontroversial. Hingga jadi masalah huku atau delik aduan. 

Patut diketahui, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa jadi alat untuk menjerat pelakunya. Bahkan di Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut "melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.". Jadi, berhati-hatilah.

 Bertutur kata dan menyebut "picek" lalu menjadi viral dan polemik sama sekali tidak produktif. Kita masih ingat tentang penggunaan kata "anjay" oleh seorang artis band. Belum lagi polemik yang timbul akibat istilah "pulang kampung" dan "mudik" yang jadi perdebatan. Maka siapa pun pengguna Bahasa, hati-hatilah dalam bertutur kata. Lalu bagi penyimak pun harus dilihat manfaat dan konteks-nya. Agar tidak jadi ribut atau perdebatan yang tidak produktif. Carilah bahan diskusi yang bermanfaat, yang mencerahkan.

Sebagai sikap dalam berbahasa, kata "picek" atau "anjay" yang dipolemikkan itu bukanlah kata baku. Itu hanya Bahasa gaul atau bahasa lisan. Jadi agak sulit mempersoalkan "kata gaul" yang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karena sifatnya informal. Kata "picek" tidak ada di KKBI, kata "anjay" pun tidak ada di KBBI. Lalu untuk apa dipersoalkan? Pasti tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik.  

Jadi, kata-kata itu dipakai oleh orang yang tidak tahu cara menggunakan bahasa yang baik dan benar. Bahkan kesantunan berbahasa pun diabaikan. Kita cukup tahu kualitas berbahasa orang-orang tersebut, mungkin masih sangat rendah. Kok bisa memakai Bahasa yang kurang pas atau tendensi-nya negatif. Sama sekali kurang mendidik. 

Sehingga cukup disarankan memakai kata-kata yang lebih baik atau lebih pantas. Agar tidak jadi masalah, tidak jadi polemik. Selesai. Bila esok, ada yang menggunakan kata-kata seperti "jijay", "alay", "lebay", "tokay", dan sejeninya. Apa mau diributkan? Sungguh, sangat membuang waktu dan tidak produktif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline