Timbal balik, itulah hikmah terbesar yang bisa dipelajari dari Idul Adha 1442 H di masa pandemic Covid-19. Bahwa ada saat hidup, ada saat mati. Seperti hewan-hewan qurban yang esok disembelih. Setelah berkelana dalam hidup, seekor kambing yang diqurbankan pun esok akan menemui ajalnya. Timbal balik. Timbalnya di dunia, baliknya di akhirat. Bila Allah SWT yang memberi, maka Dia pula akan mengambilnya.
Seperti wabah pandemi COVID-19 yang menelan banyak korban. Orang tua, saudara, teman bahkan anak-anak yang "pergi" karenanya. Ujian Covid-19 jadi bukti manusia pun tidak berdaya. Sebagai hamba, manusia sejatinya bukan pula apa-apa. Bukan pula siapa-siapa. Tidak satu pun manusia mampu bertempur melawan COVID-19. Kecuali hanya bisa mencegah, menghindari, lalu berdiam diri sambil memohon perlindungan dari-Nya. Dan selebihnya berserah diri kepada Allah SWT. Itulah hamba.
Timbal balik. Itulah hikmah idul Adha. Bahwa tidak ada kebencian yang melulu tanpa diimbangi cinta. Tidak ada kesombongan yang melangit tanpa diikuti kerendahan hati yang membumi. Tidak ada pula kejelekan tanpa diikuti kebaikan. Bahkan sehebat-sehebatnya orang dimusuh pun, bisa jadi akhirnya menjadi kawan. Ada saat menerima maka ada saat memberi. Seperti qurban di Idul Adha. Semua berjalan sesuai takdir-Nya. Dan apapun, ada timbal baliknya, ada sebab ada akibatnya.
Maka esok di 10 Dzulhijah, gema takbir Idul Adha 1442 H pun berkumandang. Ada syukur ada tangis. Ada pula kelapangan hati untuk meminta dan memberi maaf. Momen untuk terus muhasabah diri dan introspeksi diri. Karena hukum timbal balik bersifat mutlak. Untuk siapapun, pangkat apapun jabatan apapun selagi masih bernama "hamba". Ribuan ekor sapi dan kambing pun menangis haru. Nyawa hewan qurban pun hilang seketika. Tapi bukan pertanda duka. Namun tanda suka cita segera menghampiri kaum fakir miskin dan anak-anak yatim. Ada seutas senyum tersirat di bibir mereka. Bersiap menikmati daging hewan qurban yang lama sekali tidak pernah dicicipinya. Sebuah timbal balik dari orang-orang mampu kepada yang tidak mampu.
Timbal balik. Seperti kata Aristoteles, "perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan". Bila ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Bila ingin dihormati maka hormatilah orang lain. Bila ingin dicintai, maka cintailah orang lain. Atas dasar ikhlas dan apa adanya karena Allah SWT. Bukan karena dunia semata, bukan karena ada apanya. Timbal balik adalah keniscayaan, sebuah kepastian. Sebab apa yang ditabur, itulah yang akan dituai.
Ketahuilah, tidak mungkin semua orang bisa senang denganmu. Maka tidak perlu pula kamu memaksa diri agar disenangi semua orang. Karena seorang hamba, hanya bisa ikhtiar dan doa. Dan siapa pun, memang tidak perlu meng-entertain semua orang. Agar suka agar senang karena itu bukan tujuan utama hidup. Maka wajar, balas dendam terbaik dalam hidup adalah tetap berbuat baik.
Timbal balik pun. Menegaskan bahwa manusia sebagai hamba pun tidak perlu takut kehilangan. Karena di dunia ini, tidak ada yang abadi. Ada hidup ada mati. Ada datang ada pergi. Itu timbal balik. Maka jangan takut takut kehilangan. Jangan takut kehilangan dunia, apalagi pekerjaan, harta, pangkat atau jabatan.
Timbal balik adalah syariat. Bahwa ada saat memberi ada saat menerima. Ada saat membenci ada saat mencintai. Ada saat lebih ada saat kurang. Ada saat salah ada saat benar. Semua itu lumrah dan pasti terjadi pada seorang hamba. Hukum timbal balik pasti berlaku, cepat atau lambat.
Pandemi Covid-19 sudah jadi bukti.