Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Kisah Secangkir Kopi di Taman Bacaan, Substansi Bukan Reaksi

Diperbarui: 24 Juni 2021   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pribadi

Ini kisah secangkir kopi di taman bacaan.

Tentang bagaimana taman bacaan bisa menyetop putus sekolah anak atau pernikahan dini. Sebut saja si Randy. Siswa kelas 4 SD selalu rajin datang ke taman bacaan. Sekalipun di wilayahnya angka putus sekolah. Randy bertekad untuk terus tetap sekolah. Apa pun yang terjadi. Begitu pula Mega, siswa SMK kelas 2 yang sudah dua tahun ini berada di taman bacaan. Suatu kali, dia terpaksa meminta "uang celengan" di taman bacaan untuk digunakan membayar SPP sekolah yang menunggak 4 bulan. Dan sejak itu, Mega, saya ambil alih untuk dibeasiswai bayaran SPP hingga tahun depan. Kisah itu semua ada dan nyata ada di TBM Lentera Pustaka.

Seperti di taman bacaan, pada secangkir kopi selalu ada pelajaran hidup. Bisa cerita manis, bisa pula pahit. Seperti kopi, hidup itu tidak selalu manis. Kadang pun pahit. Tapi hebatnya, bersama secangkir kopi,  siapa pun selalu bisa melewati semua keadaan. Karena memang, tidak ada duka yang tidak mampu dilewati. Setiap habis gelap pasti ada terang, seperti setelah malam pasti akan terbit pagi. 

Kisah secangkir kopi di taman bacaan. Membuat siapa pun sadar.

Bahwa kopi, punya kelebihan tanpa perlu dibicarakan. Kopi juga punya kekurangan, tanpa perlu diperdebatkan. Sangat manusiawi, bila ada kelebihan pasti ada kekurangan. Siapa pun, bila punya sisi positif pasti punya sisi negatif. Jadi, rileks saja. Nikmatilah secangkir kopi di taman bacaan.

Secangkir kopi, bila di warung pasti dilayani. Saat pesan kopi pun, ada pelayan yang jutek atau galak. Ada pelayan yang santun dan menyenangkan. Semua itu tidak masalah. Rileks saja, dan tidak perlu gelisah. Di taman bacaan pun begitu, Ada yang julid, ada juga yang gosip. Tapi ada juga orang-orang baik yang membantu taman bacaan. Bahkan orang tua yag selalu datang mengantar anaknya membaca buku. Itu kisah nyata yang dialami di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak.

Secangkir kopi di taman bacaan. Menegaskan siapa pun harus punya sikap dalam hidup. Agar tidak terpengaruh, tidak terombang-ambing pada hal-hal yang tidak produktif. Apalagi hanya banyak cingcong tanpa punya kesalehan sosial. Saleh ritual itu tidak cukup, bila tidak diikuti manfaat yang besar untuk umat. Kisah secangkir kopi di taman bacaan, ingin menegaskan bahwa di dunia ini hanya ada dua tipe manusia:

1. Manusia yang reaksinya negatif. Pikirannya jahat, sikapnya aneh, omongannya negatif, bahkan terlalu mudah memfitnah dan membenci atas alasan yang tidak jelas. Manusia yang suuzon alias berprasngka buruk.

2. Manusia yang reaksinya positif. Pikirannya keren, sikapnya bijaksana, omongannya positif, bahkan ringan tangan untuk membantu tanpa bisa membenci. Manusia yang husnuzon aluas berprasangka baik.

Kisah secangkir kopi di taman bacaan. Bahwa siapa pun tidak akan pernah bisa mengontrol pikiran dan perilaku orang lain. Di taman bacaan, secangkir kopi menegaskan siapa pun hanya hanya bisa mengontrol dirinya sendiri. Seperti secangkir kopi, gerakan literasi itu yang penting "substansi" bukan "reaksi". Karena pada secangkir kopi, tidak boleh ada orang lain yang ikut menentukan cara kita dalam bertindak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline