Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Sederet Pertanyaan Pesimis Seputar Taman Bacaan, Gimana Jawabnya?

Diperbarui: 8 Juni 2021   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Ada banyak pertanyaan aneh sekitar taman bacaan. Kok bisa sih rumah dijadikan taman bacaan? Buat tapa bangun tempat hanya untuk membaca buku? Terus dari mana uangnya? Itu pegiat literasi kerjaannya apa sih? Buku-bukunya dari mana? Apa ada orang yang mau bantu taman bacaan? Dan tentu, masih banyak lagi sederet tanya tentang ketidakpercayaan.

Nyatanya, ada satu hal yang sering dilupakan orang dan itulah jawaban dari semua pertanyaan yang mereka ajukan. "Bahwa jika Tuhan sudah berkehendak, sesuatu yang mustahil atau tidak diduga pun bisa terjadi. Entah jalannya mau seperti apa, pasti terjadilah". Begitu pula sebuah taman bacaan berdiri.

Ini pengalaman saya sendiri saat mendirikan TBM Lentera Pustaka empat tahun lalu. Tahun 2017, saat anak perempuan bungsu saya berulang tahun ke-10. Dan mengundang anak-anak di kampung Warung Loa ini. Saat dialog, ternyata selain sekolah mereka hanya bermain. Sementara data demografi wilayah, tingkat Pendidikan masyarakatnya 81% hanya SD. Maka di situlah, saya niatkan untuk mendirikan taman bacaan. Caranya mengubah "garasi mobil" jadi "rak-rak buku sederhana". 

Setelah itu, saya mulai mengajak teman-teman berdonasi buku. Akhirnya terkumpul 700 buku saat TBM Lentera Pustaka diresmikan. Tapi kini, koleksi bukunya sudah lebih dari 6.000 buku. Termasuk mencari sponsor CSR korporasi untuk membiayai operasional taman bacaan. Karena memang niat awalnya, petugas baca sehari-harinya diberi "transport". Agar aktivitas taman bacaan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. 

Jangan karena sosial, lalu tidak dikelola dengan baik. Alhasil, alhamdulillah. Hingga saat ini pun, selalu ada korporasi yang ber-CSR di TBM Lentera Pustaka. Tentu, untuk biaya operasional; transport petugas baca, ebent bulanan, wifi, listrik dan lainnya.

Apa yang terjadi setelah itu? Kini TBM Lentera Pustaka menjadi tempat membaca 168 anak-anak usia sekolah. Mereka rutin 3 kali seminggu datang ke TBM dan rata-rata mampu membaca 5-8 buku per minggu. 

Selain itu, ada juga program, GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) dengan 9 ibu warga belajar, ada KElas PRAsekolah (KEPRA) dengan 11 anak. 

Ada 16 YAtim Binaan (YABI), 7 lansia JOMpo Binaan (JOMBI), Koperasi LENTERA, donasi buku, dan RAjin menaBUng (RABU). Sebentar lagi pun, TBM Lentera Pustaka menuju "Kampung Literasi" yang didukung oleh Direktorat PMPK Kemdikbud RI.

Tentu, pertanyaan orang lain akan terus ada di taman bacaan. Dan jawabnya sederhana. Taman bacaan di manapun harus terus bergerak dan lakukan saja sepenuh hati. Karena taman bacaan bukan hanya praktik baik. Tapi tujuan besarnya sangat mulia. Membiasakan anak-anak membaca buku di era digital. Bila  tidak, maka anak-anak itu dilibas dan dihantui oleh "musuh besarnya". Yaitu 1) putus sekolah, 2) pernikahan dini, 3) narkoba, dan 4) gim online.

Apa dengan berjuang di taman bacaan, masalah akan selesai? Tentu tidak. Masalah itu selalu dan pasti ada. Justru itulah yang mendewakan taman bacaan, bikin TBM semakin kreatif untuk bertahan agar tetap survive.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline