Tanggl 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional.
Tapi hari ini buku pun merasa malu. Karena buku gagal memengertikan pembacanya. Kenapa? Saat mudik dilarang akibat Covid-19, justru banyak orang pergi meninggalkan kotanya. Saat penyekatan di mana-mana, justru berkeliaran ke mana-mana. Saat objek wisata "ditutup sementara" justru di situ keramaian membludak. Buku kian malu pada dirinya sendiri.
Kata buku pula, pandemi Covid-19 itu ada dan nyata. Jutaan manusia meninggal dunia akibat Covid-19. Tapi di saat yang sama, protokol kesehatan pun sering diabaikan. Marah-marah saat diminta memakai masker. Mencak-mencak saat disuruh putar-balik. Ikhtiar untuk keselamatan pun runtuh oleh kesombongan, oleh keegoisan. Buku pun kian malu.
Orang Indonesia. Hari ini setengah dari populasinya, 185-an juta orang, kini sudah punya akses internet. Tapi sayang, tradisi membaca bukunya tidak lebih dari 1 jam sehari. Sementara berselancar di dunia maya bisa 5 sampai 8 jam sehari. Internet di genggaman tangan, buku kian terbuang dari pikiran.
Di Hari Buku Nasional, 17 Mei ini. Mari kita bertanya pada diri sendiri. Apakah kita masih cinta buku? Masihkah kita mau membaca buku? Semua orang sudah pergi ke dunia digital. Semakin gemar berselancar di dunia maya. Terus-menerus bergembira ria berdampingan dengan gawai-nya masing-masing. Lalu, kemanakah buku-buku mereka?
Tepat di Hari Buku Nasional, bisa jadi Indonesia tengah memasuki era "darurat buku nasional". Karena faktanya, saat ini 1 buku ditunggu 90 orang Indonesia. Padahal seharusnya, 1 orang Indonesia butuh 3 buku per tahun. Bandingkan di AS yang mencapai 15-20 buku per orang atau Eropa yang mampu 5-30 buku per orang. Di mana buku-buku itu? Penulis buku kian langka, penerbit buku pun kian merana.
Kondisi perbukuan kian terkulai lemah. Data IKAPI menyebut. Dari 1328 penerbit, di masa pandemi Covid-19 sebanyak 50% penerbit mengalami penurunan produktivitas. Implikasinya, 58% penerbit mengalami penurunan penjualan melebihi 50% dari biasanya. Kondisi kian diperparah karena 71% penerbit menyatakan tidak ada sama sekali pemesananbuku dari Dinas Pendidikan maupun perpustakaan daerah. Maka esok, 60% penerbit menyatakan hanya sanggup menggaji karyawan alias berada di ambang kebangkrutan. Buku di Indonesia, kian miris dan mengkhawatirkan.
Indonesia, tanpa disadari, tengah menuju darurat buku.
Buku-buku kian terpinggirkan. Makin tidak dilirik. Dulu, kata banyak orang, buku selalu dirindu. Tapi, kini buku tak lebih dari sebuah harapan palsu. Berkata "rindu buku" tapi akhirnya menjauh dari buku. Ada yang memegang buku tapi tidak pernah membacanya. Akses membaca buku kian dikebiri. Konsekuensinya minat membaca buku pun kian lemah. Tingkat literasi pun kian payah. Lalu mudah percaya pada hoaks atau berita bohong. Masyarakat literat pun makin jauh dari harapan.
Hari ini buku tidak lagi jadi tempat untuk bertutur akan pentingnya perubahan, kekhawatiran, bahkan masih adanya harapan. Era digital, era media sosial hanya mengajak masyarakat gemar berkata-kata tanpa mau menulisnya. Hanya suka berkomentar tanpa mau membaca dulu. Buku hanya sekadar dinanti, tapi saat yang sama pun dijauhi.
Di Hari Buku Nasional, 17 Mei ini. Inilah momen pengakuan. Bahwa membaca itu penting. Tradisi baca dan budaya literasi harusnya menjadi spirit hidup ke depan yang lebih baik. Apalagi di tengah gempuran era digital. Buku-buku harusnya bukan hanya dipajang atau ditumpuk. Tapi dibaca dan diterapkan ilmunya.