Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Jangan Lupa, Kartini Itu Sosok Perempuan yang Membaca dan Menulis

Diperbarui: 22 April 2021   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pribadi

  • OPINI

Selamat Hari Kartini. Begitu kalimat yang meramaikan linimasa banyak orang di media sosial. Lalu, apa hikmah yang bisa dipetik dari peringatan Hari Kartini?

Kartini itu bukan soal pejuang emansipasi wanita. Karena diskursus tentang emansipasi wanita hari ini, bisa jadi sudah kelar atau sudah mencapai 80%. Hanya wanita-wanita yang kurang beruntung yang belum ter-emansipasi. Itu pun akibat dari kemiskinan atau ketidak-adaan akses ekonomi. 

Tapi lebih penting dari itu. Bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang membaca dan menulis. Kumpulan surat-surat Kartini pada periode 1879-1904 yang kemudian diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul asli "Door Duisternis tot Licht" atau "Habis gelap Terbitlah Terang" jadi bukti Kartini menulis dan membaca. Kartini itu sosok perempuan literat.

Kartini pun banyak membaca. Mulai dari surat kabar hingga majalah, termasuk majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan.  Majalah wanita Belanda "De Hollandsche Lelie" juga jadi bacaan langganannya. Maka banyak tulisan Kartini juga dimuat majalah tersebut. Lagi-lagi jangan lupa, Kartini itu sosok yang membaca apa saja dan menulis dengan penuh kesungguhan. Perjuangan menjadi sosok wanita yang literat itulah yang kini penting dikemukakan dan diteladani dari Kartini.

Kartini memang sosok literat. Di saat usianya belum 20 tahun, Kartini sudah tuntas membaca buku-buku seperti: Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht atau Kekuatan Gaib karya Louis Coperus, dan Die Waffen Nieder atau Letakkan Senjata karya Berta Von Suttner. Semua buku yang dibaca Kartini pun berbahasa Belanda. Esai berjudul "Upacara Perkawinan Pada Suku Koja" pun jadi karya Kartini yang tidak dapay dikesampingkan.

Apa yang saya mau katakan di sini? 

Jelas, bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang membaca dan menulis. Sekalipun hidup di zaman yang belum maju, Kartini sangat literat. Sadar akan pentingnya membaca dan menulis dalam hidupnya. Hingga menjadi bagian dari sejarah.

Sederhana sekali, peringatan Hari Kartini harusnya bisa mengembalikan kita dan publik di bumi Indonesia untuk membaca dan menulis. Karena membaca dan menulis, Kartini diperingati sebagai sosok bersejarah. Dari membaca, dia mengintip dunia lain di di luar dirinya. Dari menulis, dia ber-ekspresi dan mengungkap cita-citanya untuk dunia.

Kartini bukan soal emansipasi. Bukan lagi soal kesetaraaan gender. Apalagi soal antipoligami. Tapi Kartini patut diteladani sebagai sosok yang literat. Sosok perempuan yang bergelimang nilai-nilai. Bukan perempuan yang mengejar status sosial sebagai harga. Tapi lupa kodrat yang berpegang pada nilai-nilai keperempuanan. Feminisme Kartini bukan hanya sebatas gerakan. Tapi diikuti oleh tindakan untuk memajukan kaumnya, memajukan bangsanya.

Maka Kartini hari ini. Harusnya dilihat sebagai sikap. Bukan ambisi apalagi perjuangan eksistensi. Emansipasi itu orientasinya ditanam ke dalam diri, bukan dikejar ke luar diri. Karena sikap Kartini itu jadi cerminan perbuatan yang berdasar pada keyakinan untuk lebih bernilai. Bukan ambisi berupa hasrat atau nafsu untuk menjadi sesuatu. Salah bila Kartini hanya ngotot meraih status, pangkat atau kedudukan untuk mengangkat eksistensi sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline