Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Literasi Singkong, Setinggi Apapun Tetap Rendah Hati

Diperbarui: 26 Maret 2021   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pribadi

Singkong, nama kerennya itu manihot utilissima. Tapi hari ini, mungkin banyak orang tidak suka singkong. Karena dianggap makanannya orang miskin. Panganannya kaum alit, bukan kaum elit. Padahal hampir di semua swalayan. Ada jajanan yang dikemas bagus, dibumbui enak. Ehh, ternyata terbuat dari singkong. Walau enak itu relatif ya. 

Lebih dari itu. Bisa jadi, singkong itu pohon yang hidupnya tidak ribet. Tetap tumbuh di tanah bawah atau di tanah kering. Bisa ditanam di mana saja, tanpa perlu pupuk sekalipun. Dalam keadaan apa pun, singkong tidak baperan, tidak mudah galau. Hebatnya lagi, semua bagian pohonnya berguna. Daunnya buat lalapan atau sayur. Batangnya dibikin pagar. Buahnya pun enak. Simpel dan alami, singkong tetap tumbuh, tanpa direkayasa.

Singkong itu pun literasi. Saat pohonnya tumbuh menjulang tinggi. Tapi bagian yang membesar tetap ada di bawahnya. Justru akar yang jadi buahnya. Berbeda dengan manusia.  Karena tidak sedikit manusia yang makin menjulang pangkat dan jabatannya. Justru makin menjauh dari akarnya. Makin lupa diri dari  mana dia berasal?

Hidup pun harusnya seperti singkong. Siapa pun saat meninggi atau menjulang pangkat, jabatan, harta atau status sosial. Tapi manfaatnya tetap terasa sampai ke bawah, ke orang-orang yang membutuhkan. Seperti di taman bacaan, apa pun keadaannya. Tetap komitmen membangun tradisi baca kepada anak-anak yang tidak punya akses bacaan. 

Mungkin, Sebagian kita tidak suka ngemil singkong. Karena kalah bonafid daripada roti atau pizza. Tapi ketahuilah, singkong tetap apa adanya bukan ada apanya. Singkong sederhana. Bila doyan silakan kunyah. Bila tidak pun, jangan dikunyah. Selain tidak suka merekayasa diri, singkong sama sekali tidak gemar gagah-gagahan. Karena dunia itu sementara. Diserang pandemi Covid-19, dunia itu sudah kalang kabut. Lalu, apa yang mau digagahin? Apa yang mau disombongkan?

Maka agak kontradiksi. Bila ada yang pengen hidup sederhana. Tapi mereka tidak suka singkong. Bila ingin dibilang benar. Tapi maunya menyalahkan orang lain. Hidup di zaman canggih, di era digital. Tapi apa yang diucap dengan apa yang dikerjakan, justru makin berbeda?

Singkong, itu gurunya hidup sederhana. Nrimo ing pandum atau menerima segala pemberian dan segala keadaan. Istilahnya tetap qona'ah alias apa adanya. Agar hidup lebih acceptable, berterima di segala ruang dan waktu. Tanpa gengsi tanpa frustrasi. 

Seperti singkong, mau setinggi apapun pohonnya. Dia tetap rendah hati, tetap tidak mau menampakkan buahnya. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline