Kemarin, saat ikut vaksin Covid-19 di Istora Senayan. Kawan saya cerita, teman sekelasnya meninggal dunia akibat Covid-19. Seorang Bapak berumur 52 tahun. Padahal minggu lalu, anaknya yang meninggal. Sementera orang tua dan istrinya, kini masih dirawat di RS. Keluarganya tidak ada yang mengantar ke kubur. Karena sekeluarga sedang diuji, terkena Covid-19. Sedih dan mengharukan. Itu berarti, almarhum teman kawan saya itu termasuk dari 39.000 korban meninggal dunia akibat Covid-19 di Indonesia. Itu nyata dan fakta.
Akibat Covid-19 pula. Jutaan anak belum bisa sekolah. Orang kerja pun terpaksa nongkrong di rumah. Hari ke hari korban terus bertambah. PSBB dengan segala jenisnya terus dilakukan. Razia protokol kesehatan kian digencarkan. Itu semua hanya cara untuk mencegah agar Covid-19 tidak kian mewabah. Termasuk vaksinasi Covid-19 yang baru saja dilakukan.
Harus bisa dipahami, Covid-19 itu penyakit menular. Tapi tidak jelas gimana menularnya dan siapa yang menularkan? Berbeda dengan sakit demam, yang bisa sembuh sendiri asal "dinikmati" dan banyak istirahat. Lalu, apa obat Covid-19? Seluruh dunia pun bilang belum ada obatnya. Hanya vaksin yang bisa dilakukan. Untuk mencegah penularan Covid-19. Jadi, vaksin murni hanya ikhtiar untuk sehat. Agar tidak tertular, untuk menekan angka penyebaran. Apalagi seperti saya yang bukan dokter. Maka apalagi bila tidak ikut vaksin. Ikhtiar sehat lalu banyak berdoa. Insya Allah.
Sementara di luar sana. Berapa banyak orang yang apriori terhadap vaksin Covid-19. Berkomentar miring tentang vaksin. Berdiskusi tentang vaksin tapi dari sisi jeleknya saja. Dari soal bahan baku, status halal atau tidaknya, negara produsen vaksin, hingga efek samping. Biar orang lain takut divaksin. Lalu, korban makin berjatuhan. Entah, diskusi apa lagi yang mereka akan katakan? Kejelekan apalagi yang akan ditebarkan? Terlalu apriori.
Apriori pun bisa terjadi di taman bacaan. Anak yang baca bukan anak kita. Kampung pun bukan tanah kelahiran. Mau maju atau tidak, biar saja urusan mereka. Mau punya masa depan atau tidak pun tidak ada hubungannya dengan kita. Maka, untuk apa di taman bacaan? Buang-buang waktu saja. Itulah contoh cara berpikir apriori terhadap taman bacaan.
Maka ketahuilah, salah satu musuh gerakan literasi adalah pikiran apriori yang terlalu mudah mengorbankan masa depan anak atau kesehatan untuk kebahagiaan yang semu. Lalu, menebarkannya agar banyak orang apatis alias berdiam diri. Tanpa mau ikhtiar. Seperti vaksin, taman bacaan itu bagian dari ikhtiar. Agar lebih sehat, lebih berdaya dan survive di masa depan.
Dalam literasi vaksin. Covid-19 itu penyakit. Maka setiap penyakit harus dicari obatnya, harus disembuhkan. Bukan dijadikan cuma diomongin atau dikomentarin. Virus harus dihalau penularannya. Soal bagaimana caranya? Tentu, orang yang kompeten yang paham. Maka siapapun harus peduli, minimal empati. Bukan malah sibuk dengan urusan yang "tidak menyembuhkan".
Ikhtiar untuk sehat itu penting. Karena hanya ada 3 kemungkinan yang bisa bikin Covid-19 lenyap. Yaitu 1) virus itu mati bila manusianya sehat dan imunitas tubuhnya kuat, 2) virus itu mati bila lingkungan sosialnya bersih dan pikirannya sehat, atau 3) virus itu mati karena manusianya mati.
Vaksin Covid-19 itu hanya salah satu ikhtiar untuk sehat. Setelah itu berdoalah yang baik. Selebihnya serahkan kepada langit, kepada Allah SWT yang maha kuasa. Karena apapun yang terjadi, sungguh atas kehendak-Nya. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H