Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Jauhi Prasangka Buruk, Baik Bukan karena Kerasnya Membaca Kitab Suci

Diperbarui: 3 Februari 2021   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Zaman boleh maju. Tapi sayang, prasangka pun makin marak. Tidak sedikit hari ini, orang yang hidup dalam prasangka. Apa saja disangka, siapapun sulit terbebas dari prasangka. Kok bisa?

Kata orang bahasa. Prasangka itu artinya pendapat atau anggapan yang kurang baik sebelum tahu kebenarannya. Argumen yang dilahirkan tapi tanpa bukti. 

Semua kata orang, semua kata obrolan di rumah-rumah atau di warung-warung kopi. Sekalipun boleh, prasangka buruk sebaiknya dijauhi. Soal apapun, untuk siapapun. Karena tidak ada manfaat, dan tidak produktif.

Prasangka itu sederhana.

Apa yang dilakukan orang lain salah. Semua yang diomong orang lain tidak disukai. Dan semua yang dikerjakan orang lain pun serba salah. Yang benar, hanya komentar dan pikiran "orang yang berprasangka" saja. Walau dia sendiri tidak pernah melakukannya. Hanya sebatas komentar dan obrolan. Alhasil, berapa banyak orang yang kini hidup dalam prasangka?

Zaman boleh makin maju. Ilmu pun makin tinggi. Status sosial makin keren. Pendidikan makin mentereng. Tapi sayang, di saat yang sama. Makin banyak pula orang yang menghabiskan sebagain besar waktunya untuk prasangka buruk. Terlalu geram berprasangkan.

Siapapun memang boleh tidak empati kepada orang lain. Tapi itu bukan berarti "halal" untuk berprasangka buruk. Apalagi menaruh prasangka terhadap kebaikan. Seperti aktivitas di taman bacaan. Hanya untuk menegakkan tradisi baca dan budaya literasi. Tapi masih saja ada prasangka di dalamnya. Maka jangankan manusia. Gelapnya mendung atau terangnya matahari pun tidak luput dari prasangka. 

Prasangka bisa jadi makin marak.

Karena tidak mampu ikut merasakan apa yang dialami orang lain. Kaum berprasangka hanya bisa melampiaskan perasannya sendiri. Hanya bisa membenarkan pikirannya sendiri. Hingga lupa, manusia sebagus apapun akhlaknya dan sehebat apapun akalnya. Sama sekali tidak berguna bila selalu direcoki oleh prasangka buruk.

Prasangka makin merajalela. Akibat tidak bisa lagi berpikir objektif. Gagal bersahabat dengan realitas. Membangun argumen untuk menyalahkan orang lain. Melampiasakan alasan untuk melegalisasi prasangka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline