Soal pesangon pada UU Cipta Kerja memang belum diatur secara detail. Karena mungkin, PP (Peraturan Pemerintah)-nya pun saat ini sedang disusun. Hal teknis terkait tata cara, mekanisme, dan besaran uang pesangn harus menunggu PP-nya. Apalagi terkait dengan program pensiun sukarela, seperti DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) yang selama ini sudah ada dan diselenggarakan pemberi kerja. Apakah dapat dikompensasikan atau di-offset sebagai kewajiban pesangon pun harus menunggu PP-nya.
Lalu, kawan saya bertanya. Dia sudah bekerja 25 tahun dan sebentar lagi akan pensiun. Bila acuannya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, bisa jadi dia akan menerima uang pesangon akibat usia pensiun mencapai 32,2 kali upah. Berapapun besar upahnya. Namun bila acuannya UU Cipta Kerja maka uang pesangonnya berubah menjadi 19 kali upah. Karena uang pesangon (UP) dengan masa kerja lebih dari 8 tahun memperoleh 9 kali upah + uang penghargaan masa kerja (IPMK) lebih dari 24 tahun memperoleh 10 kali upah. Maka totalnya 19 kali upah menurut UU Cipta Kerja (pasal 156). Kawan saya pun bingung. Karena bila dihitung terjadi penurunan sekitar 40% dari besaran uang pesangon menurut UU 13/2003.
Kawan saya pun mulai lebih kritis? Dia tanya. Kalau begitu, apakah PP-nya nanti berlaku surut? Begitu tanyanya ke saya. Terus saya harus jawab apa? Haruskah menyenangkan dia atau saya jawab apa adanya saja?
Mari kita analisis ya. Bisa saja tafsiran saya salah. Tapi setidaknya saya harus berpikir untuk menganalisisnya. Maka terkait PP soal pesangon nanti, anggap saja nanti sudah diterbitkan. Bagaimana nasib kawan saya yang sudah bekerja 25 tahun tadi dan akan pensiun di awal tahun 2021. Maka tafsirnya adalah sebagai berikut:
1. Berpotensi besar kawan saya akan dibayarkan uang pesangonnya sesuai dengan UU Cipa Kerja atau PP turunan yang mengatur kompensasi pesangon. Artinya, PP itu "berlaku surut" ke seluruh pekerja (termasuk kawan saya). Sesuai dengan besaran UP dan UPMK yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
2. Bila "berlaku surut" maka rujukannya UU Cipta Kerja bukan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena berlaku surut berarti aturan yang digunaan adalah aturan terbaru bukan yang sebelumnya. Istilahnya, asas retroaktif yang berarti pemberlakuan peraturan perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya. Maka, UU 13/2003 dianggap tidak dipakai lagi bila UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku sebagai rujukan.
3. Sebenarnya tidak ada yang baru dengan "berlaku surut'. Karena dulu waktu UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pun berlaku surut. Artinya sejak diundangkan dan dinyatakan berlaku maka semua pekerja/buruh setelah itu aturannya merujuk kepada UU/2003. Betul kan?
4. Lagipula, untuk apa UU Cipta Kerja diberlakukan bila tidak berlaku surut. Logikanya sederhana saja. Siapapun pekerjanya bila akan pensiun, berarti masa kerjanya sudah paling lama dan upahnya paling tinggi buat si pekerja tersebut. Maka beban uang pesangon pekerja pasti lebih besar. Apalagi bila acuannya UU 13/2003yang mencapai 32,2 kali upah bila mengacu pada kawan saya di atas. Sementara dengan UU Cipta Kerja besaran uang pesangon sebesar 19 kali upah. Lumayan kan pemberi kerja "hemat" 40% dari formula yang sebelumnya.
Jadi begitulah analisis saya. Tentu, bisa salah atau tidak sepenuhnya benar. Tapi dengan argumen di atas, saya kira pasti "berlaku surut". Maka bersiaplah dan antisipasi dari sekarang. Jangan sampai "bagaikan mimpi di siang bolong". Atau terlalu berharap sesuatu yang tidak mungkin diraih, termasuk soal uang pesangon akibat usia pensiun. Lain halnya bila ada program voluntary retirement program sekarang-sekarang ini, mungkin bisa lebih baik besarannya.
Maka nasihat untuk kawan saya yang bertanya tadi. Saya katakan bila aturan sudah diberlakukan, mau tidak mau harus siap menerima. Karena semua ada aturannya dan kita harus patuh terhadap aturan. Tidak ada cara lain selain mematuhinya.