Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Kisah Kesungguhan Zahra Berjuang Baca di Taman Bacaan

Diperbarui: 21 Agustus 2020   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Ananda Zahra, siswa kelas 3 SD. Saya paham, dia punya kendala mata. Saat membaca, teks harus didekatkan ke matanya. Sudah berulang kali berobat, bahkan ada kaca matanya. Tapi entah, mungkin ada masalah di matanya. 

Maka di taman bacaan, setiap buku yang dibacanya harus didekatkan ke matanya. Walau mengalami kesulitan dibanding kawan-kawannya, dari sejak kelas 1 SD dia selalu ada di taman bacaan. Dari tidak bisa baca, perlahan mengeja dan kini sudah bisa membaca. Walau lambat.

Saya pernah tanya. "Nak, kamu kan agak susah melihat huruf. Tapi kok, kamu rajin datang ke TBM Lentera Pustaka?" Dia pun menjawab "Iya Pak. Saya memang tidak bisa membaca secepat teman-teman. Tapi saya harus rajin ke TBM. Biar tetap bisa baca".

Buat saya, Zahra anak luar biasa. Sekalipun punya kendala mata. Tapi dia tetap rajin datang ke TBM. Ada kesungguhan untuk bisa membaca buku. Dan yang paling penting, dia tidak menyerah dengan keadaannya. Saya pun belajar dari Zahra.

Begitu pula mengelola taman bacaan. Kata orang sifatnya sosial. Tidak ada rapor, tidak ada absen di taman bacaan. Anak-anaknya datang sesuka hati. Bila mau datang, bila tidak ya main saja. 

Saya kira, pengelola taman bacaan di banyak tempat juga hebat. Mereka bukan hanya peduli. Tapi kreatif dan terus mencari cara agar taman bacaannya tetap bisa bertahan. Dengan segala tantangannya. Seperti ponsel, sikap cuek orang tua, kemiskinan, dan sebagainya.

Bila mau jujur. Tidak banyak pula "orang mampu" yang peduli pada taman bacaan. Kondisi taman bacaan banyak yang mati suri. Sekitar 70% taman bacaan di Indonesia, survei kecil saya, terkesan "ada tapi tiada". Nama TBM-nya ada, tapi aktivitasnya tidak ada. 

Orang peduli taman bacaan sedikit sekali. Mereka lebih memilih berbagi ke panti asuhan daripada taman bacaan. CSR pun lebih memilih tempat yang bisa jadi "panggung sorot kamera" ketimbang taman bacaan. 

Walau CSR yang hanya bersifat hit and run; lempar lalu kabur. Tidak berkelanjutan dan belum tentu ada nilai kemanfaatannya. Begitulah kondisi di taman bacaan pada umumnya.

Dalam berbagai diskusi sesama pegiat literasi. Saya selalu katakan. Bahwa pendidikan nonformal itu sama pentingnya dengan pendidikan formal. Karena itu diatur di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline