Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Jurnal Predator sebagai Jalan Pintas Publikasi Ilmiah

Diperbarui: 3 Mei 2020   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pribadi

Siapapun yang merasa ilmuwan atau akademisi, publikasi ilmiah pasti dianggap suatu yang penting. Tapi sayang, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya terjebak pada jurnal predator. Jurnal yang sengaja dibuat atas nama publikasi ilmiah untuk mencari uang. Praktiknya sederhana, menerima sebanyak mungkin artikel tanpa menyaring kualitas penelitian. Jurnal predator, saya menyebutnya pasar gelap publikasi ilmiah.

Mungkin, akibat tingkat kebutuhan yang tinggi di kalangan akademisi. Entah untuk kepangatan atau tunjangan, entah apalah. Intinya, akademisi yang begitu bernafsu untuk mempublikasikan ‘seolah-olah” hasil riset mereka di jurnal-jurnal internasional. Apalagi bagi akademisi “penghamba” scopus, yang begitu bangga sudah punya ID Scopus. Sementara hari-harinya, kerjanya ngobrol tanpa mau membaca tanpa mau menulis. Saya hanya bertanya, kok Anda bisa punya scopus dan ter-jurnal? Anda hebat dan luar biasa, selamat untuk itu semua.

Adalah jurnal predator bisa jadi jalan pintas. Akibat adanya tuntutan publikasi ke jurnal nasional terakreditasi ataupun jurnal internasional. Jurnal predator pasti bisa memuat artikel ilmiah dengan cepat. Asal cocok biayanya. Apalagi bila urunan, kan tidak terlalu besar pula. Kenapa di jurnal predator? Karena di jurnal internasional bergengsi sudah pasti sulit bisa ditembus. Selain sudah ter-akreditasi, jurnal bergengsi pasti punya standar yang tinggi dan antrean-nya pun lama. Karena memang jurnal bergengsi dikenal untuk artikel-artikel ilmiah yang ditelaah pakar seilmu (peer- reviewed) yang sangat ketat.

Karena itulah, jurnal predator jadi alternatif atau jalan pintas yang menggiurkan. Karena itu harus dipahami, jurnal predator itu bisnis. Bolehlah disebut “kewira-usahaan” yang mengeksploitasi publikasi ilmiah. Apalagi yang bentuknya OAJ (Open Acces Journal), sangat mudah karena daring sistemnya. Tapi intinya, mereka bertekad meraup uang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas artikel yang dipublikasi.

Ini kisah nyata untuk mengecek adanya jurnal predator. Sorokowski dkk pernah membuat seorang tokoh fiktif yang melamar kerja di 360 jurnal ilmiah untuk posisi editor. Curriculum vitae tokoh ini sengaja dibuat tidak layak untuk melamar sebagai editor jurnal ilmiah, misalnya: 1) tidak memiliki publikasi ilmiah yang terindeks, 2) tidak ada pengalaman bekerja di jurnal ilmiah, 3) karya-karya yang dicantumkan semuanya palsu dan tidak dapat ditemukan di mesin pencari. Apa hasilnya? Hasilnya, 40 jurnal yang terdaftar pada daftar hitam Jeffrey Beall menunjuk tokoh ini menjadi editor. Respon umumnya cepat, dalam hitungan hari hingga jam. Bahkan ada 4 yang menunjuk langsung menjadi editor-in-chief tanpa proses wawancara. Itulah “predator”.

Lalu, apa masalahnya dengan jurnal predator?

Tentu tidak ada masalah bagi yang tidak menggemarinya. Saya pun bukan termasuk “penghamba” scopus. Saya hanya menulis dan meneliti saat mampu, selebihnya tidak peduli mau dipublikasi di mana. Tapi prinsip yang saya pegang, saya tidak mau ikut pada “permainan kotor atas nama ilmiah”. Tidak mau jadi predator. Karena di jurnal predator, sangat jelas. Akademisi dimangsa kapitalis.

Tapi bila ditelisik, dampak negatif dari adanya atau publikasi di jurnal predator adalah 1) mengancam kualitas publikasi ilmiah, 2) jadi lahan empuk plagiarisme – jiplakan 3) menguras kocek karena biaya publikasi yang mahal, 4) menjadi jalan pintas yang tidak bertanggung jawab, 5) karya tidak dipilih berdasar kualitas hanya mementingkan kuantitas, dan 6) membentuk reputasi buruk pada akademisinya dan kampusnya.

Jurnal predator itu ada banyak dan di mana saja ada. Bahkan dekat dengan akademisi, dekat dengan para dosen. Ini realitas. Sekalipun tidak ada kriteria baku jurnal predator, tapi cara kerjanya bisa dilihat dan dirasakan. Beberapa ciri jurnal predator bisa dicek, misalnya durasi penyuntingan artikel yang sangat cepat. Konferensi-nya baru kemarin dan tiba-tiba sebulan kemudian sudah tayang artikelnya ter-indeks katanya. Pasti ada ada biayannya, bila perlu bisa pilih judul artikelnya.  Selalu ada banyak klaim palsu di jurnal predator seperti impact factor palsu, editorial board yang namanya dicatut tanpa izin dari individu bersangkutan, serta nomor international standar serial number jurnal palsu dan sebagainya.

Jadi, hindari jurnal predator.  Jangan sampai akademisi terjebak pada nafsu publikasi ilmiah ter-indek scopus dan sebagainya. Tapi harus mengorbankan integritas keilmuan dan sikap ilmiah yang selama ini katanya dijunjung tinggi. Jangan sampai “apa yang diomong berbeda dengan apa yang dilakukan”. Rileks saja dalam publikasi ilmiah. Karena semua ada prosesnya ada mekanismenya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline